Wednesday, April 18, 2012

Swarga Nunut Neraka Katut


Ivy (45), seorang manager di sebuah institusi swasta di kota metropolitan B,  tiba-tiba menumpahkan seluruh uneg-uneg yang telah puluhan tahun ia simpan dalam hatinya. Kesuksesan karier dan materi ternyata tak diikuti oleh kesuksesannya dalam hidup berkeluarga. Di kantor ia sungguh disegani oleh para kolega dan bawahannya, tetapi di rumahnya, ia adalah seorang istri yang tak ada artinya di mata suaminya, ditekan, tidak dihargai, dicurigai, tidak dipercaya dan sering menerima perlakuan kasar suaminya yang menganggur di rumah. Beruntung anak-anaknya memberinya tempat yang luar biasa baginya sebagai seorang ibu yang sangat mereka sayangi dan banggakan.


Dengan terisak, ia menceritakan semua kepedihan yang ia alami di rumah. Berawal ketika suaminya, sebut saja Rian, terkena serangan stroke pada tahun 2004, saat dimana sang suami sesungguhnya sedang menikmati gemerlap kesuksesannya sebagai seorang pialang saham. Bukan hanya itu, saat itu Rian yang berwajah menawan itu juga berhasil melejitkan bisnis gym yang ia bangun sendiri dan dikelola kawan-kawannya. Hampir tak ada lagi hari-hari yang tak terisi dengan kisah sukses pekerjaan dan gelimang uang.

Namun rupanya gairah kerja dan godaan untuk makin dan semakin sukses justru telah mengantarnya pada situasi yang sama sekali tak diharapkan. Hanya berselang sekitar 2 tahun pesta kejayaan itu dinikmati, sang pialang terserang stroke.

Selama Rian dirawat di rumah sakit selama hampir 2 minggu Ivy tak pernah meninggalkan suaminya sendirian. Sepulang kerja, Ivy selalu berada di samping suaminya hingga pagi berikutnya ketika harus berangkat ke kantor. Ia dengan telaten mengatur posisi tangan, kaki, kepala dan seluruh bagian tubuh Rian yang sedang tak berdaya itu agar berada dalam posisi yang tepat karena harapannya kelak seluruh anggota badan suaminya berfungsi normal.

Ketika Rian mulai bisa berbicara lagi, setelah mengalami gangguan ‘sulit bicara’ selama hampir dua minggu, Ivy merasakan kembali suasana rumahnya ketika bersama-sama suami menghabiskan hari-harinya. Tetapi bukan suasana hangat penuh kemesraan, sebaliknya sebuah tragedi komunikasi yang selama 10 tahun ini telah ia tutupi dengan rapi di depan banyak orang. Rian mulai agresif lagi menyerangnya, juga ke anak-anaknya, yang katanya suami sakit tidak dirawat dengan benar, tidak diperhatikan, dan menyalahkan hampir semua yang sudah dilakukan Ivy dan anak-anaknya selama Rian lumpuh dan hampir tak bisa bicara.

Ternyata Ivy bukanlah istri yang mendapatkan kasih sayang berlebih seperti bayangan kakak-kakak dan ibunya. Apa yang sesungguhnya terjadi selama ini adalah bahwa kedua pasangan ini sudah gagal membangun komunikasi yang asertif, yang dibangun atas dasar pikiran, perasaan dan keinginan yang ditujukan untuk pasangannya dengan saling menjaga perasaan satu sama lain. Sang suami cenderung agresif bahkan kadang kompulsif. Tak jarang tanganpun turut berbicara di tengah-tengah amarah yang tak terkendali.

Sudah lebih dari 10 tahun Ivy berusaha menyembunyikan kebusukan Rian, terutama di depan keluarganya. Ia sangat menghormati suaminya dan ingin menjaga nama baiknya. Jauh dalam hatinya, ia berkeyakinan bahwa suatu saat pasti akan berubah, sehingga biarlah orang-orang hanya tahu bahwa Rian memang seorang suami dan ayah yang baik-baik saja. Tetapi keyakinannya ternyata tak kunjung terwujud, bahkan sebaliknya ia menerima ketidakpercayaan, tekanan dan kecurigaan yang makin berlebih setelah stroke menyerang suaminya. Kini Rian justru kian mudah tersinggung, mudah marah dan reaktif dalam merespon permasalahan yang dihadapi meski pada kenyataannya tidak ada hal yang perlu dipersoalkan.

Ivy tahu, bahwa sejak minggu pertama perkawinannya, egosentrisme Rian sudah dapat ia rasakan. Tetapi, seperti nasehat ibunya, “Ini kan pilihanmu sendiri, ya harus kamu terima dan jalani!” Oleh karena itulah ia pasrah saja menjalani semua yang terjadi.

Di kalangan orang Jawa masih ada ungkapan, yang sejujurnya sangat tidak adil, tetapi masih banyak diugemi, dipatuhi dan dijalani, yakni ketika seorang perempuan itu sudah menjadi seorang istri maka terhadap suaminya dia hanya “swarga nunut neraka katut”. Bila diterjemahkan secara bebas artinya kurang lebih adalah ke surga yang serba enak dan bahagia, istri numpang, ke neraka yang panas dan menyiksa, dia juga turut serta. Ketidakadilan ajaran Jawa ini adalah salah satu bentuk legitimasi dominasi pria atas perempuan. Dalam konteks yang lain, bisa berarti dominasi si kaya terhadap si miskin untuk sebuah hubungan kerja buruh-majikan; bisa juga dominasi pemerintah atas rakyatnya disaat pemerintah merasa sebagai penguasa atas segala yang ada di negeri ini; serta ketidakadilan lain yang tercipta dalam hubungan antar individu atau kelompok untuk kepentingan yang lain.

Rumah tangganya bukanlah neraka, tetapi  egosentrisme Rian yang sangat kuat seringkali membuat Ivy dan anak-anaknya merasa terjepit. Semua aktivitas sehari-hari istri dan anak-anak hanya dilihat dari sudut pandang sang suami. Ketika dinilai tidak sebangun dengan perespektif Rian, maka  Ivy dan anak-anaknya hanya mampu diam mendengar semua serangan menyalahkan tanpa bisa melakukan pembelaan.

Sesungguhnya Ivypun tak pernah bersikap pura-pura ketika menerima penilaian negatif suaminya. Lagi-lagi, seperti yang sudah diajarkan ibunya sejak kecil, perempuan harus tunduk dan pasrah pada suami, maka iapun bersikap sendiko dawuh, nurut kepada sang suami.

Beberapa kali Ivy pernah hampir menabrak mobil lain di jalanan, misalnya, hanya karena ia ketakutan telat sampai di rumah. Dibenaknya waktu itu, ia tak boleh melanggar aturan yang sudah dibuat suaminya. Rian tak pernah mau peduli apakah istrinya pulang terlambat karena pekerjaan kantor atau macet di jalan.

Meski hanya sendiko dawuh menjalani semua ini, bahkan kelihatan sebagai istri yang tegar, rupanya tak demikian dengan respon tubuhnya. Ivy sudah mengalami gangguan faal atau fungsional beberapa organ tubuhnya karena stres, yaitu terjadi penyempitan pembuluh darah di jantungnya, gastritis (maag) dan juga gangguan sistem pernafasan. Tentu saja, gangguan fisik (somatik) semacam ini bukanlah pilihannya. Ia berharap baik mental maupun fisiknya sama-sama kebal dan tahan menghadapi semua ini. Oleh karena itu, ia menyadarkan dirinya sendiri untuk menyelamatkan raganya yang masih sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya.

Ternyata bukan hanya Ivy yang kemudian sadar bahwa tak “semua baik adanya” di rumah tangga ini, ibunya-pun yang sudah mengajarkan sikap tunduk seorang istri pada suami, kini mulai bersikap, apalagi bila mendengar suami Ivy main tangan hanya karena kecurigaan tanpa dasar. “Apa mencari istri itu hanya untuk dipukuli?” ujar ibunya. Padahal semenjak ia menikah, sang ibu kelihatan sangat menyayangi menantunya.

***

Seiring dengan penarikan diri dari semua aktivitas pekerjaan, gym milik Rian-pun pada akhirnya tutup. Meski masih bisa bepergian dengan sepeda atau motor, Rian memang memilih tinggal di rumah saja. Ada satu dua orang teman pernah mengunjunginya ke rumah. Beberapa diantara mereka sempat bercerita, bahwa Rian ketika masih menjadi bos gym, sikapnya sangat kasar dan sangat tidak menghargai kawan-kawannya sendiri yang bekerja padanya. Tetapi merekapun tak dapat berbuat apa-apa karena dari dialah mereka mendapatkan nafkah.

Ivy yang tak mau gagal dalam hidup berkeluarga, mati-matian mempertahankan keutuhan keluarganya, apalagi anak-anaknya sudah beranjak dewasa, ia tak ingin meninggalkan teladan yang tak pantas. Demi menjaga keamanan dan ketenangan, terpaksa Ivy memutuskan bahwa dia dan anak-anaknya harus tinggal di rumah ibunya, sementara sang suami tinggal terpisah di rumahnya sendiri. Ini bukan pisah ranjang tetapi sekedar mengurangi intensitas komunikasi belaka.

Kini, Ivy dan anak-anaknya masih sabar menunggu terjadinya perubahan suasana dalam rumah tangganya. Mereka semua berharap akan ada sesuatu yang membuat seluruh anggota keluarga dapat bekerja dan belajar dengan tenang, demi masa depan anak-anak mereka yang sangat butuh kasih sayang, kebebasan dan kebahagiaan. (Iono Sandjojo)

Catatan:
Anda ingin membantu Ivy dan keluarganya menghadapi semua itu? Ingin memberikan dukungan agar kuat menghadapi tantangan pelik hidupnya? Atau ingin membagi pengalaman untuk membantu meneguhkan hatinya? Silakan tulis semua yang ingin anda sampaikan di komentar di bawah ini. Terima kasih dan salam hangat.

5 comments:

alin said...

kalau keadaan rumah itu engga nyaman, kasian anak2. tempat yang seharusnya nyaman dan sehat, menjadi tempat yang sebaliknya. tidak adil buat anak2, hak mereka adalah hidup di lingkungan yg sehat.

'inikan pilihanmu sendiri, ya harus kamu terima dan jalani!' -> memang keluar dari seorang Ibu, tetapi saya engga setuju, maaf.
yg jalani dan merasakan mba ivy sendiri.. :) pasti deep down in your heart udah tau jawabannya kan?

Anonymous said...

Kalau bisa cerai kenapa nggak cerai aja to bu? Maaf, ini bukan provokasi, tetapi kan harus ada penyelesaian. Main sinetron kok di rumah sendiri to?

Anonymous said...

Iya....suami apaan sih kayak begitu? Kalau saya jadi istrinya.....sudah saya tukarkan dengan abu gosok, lebih bermanfaat!

Anonymous said...

Ivy ini masih mau nunggu perubahan dalam rumah tangga yang seperti apa? Nunggu sampai tambah panas? Nunggu sampai semua keok? Nunggu keajaiban? Atau nunggu ada Spiderman yang datang menolong?

Tapi hebatlah kalau ibu masih sabar untuk menunggu....

Maryam Kurniawati Sutanto said...

Saya sangat menghargai upaya dan pengorbanan Ibu Ivy untuk terus mempertahankan kehidupan keluarganya. Namun harapan, bahwa suatu saat Rian, suaminya akan berubah, menurut saya, mustahil. Tidak mudah mengubah karakter seseorang, apalagi dengan "keterbatasan fisik" (karena stroke). Bagi laki-laki, pekerjaan itu adalah dunia dan harga dirinya, sehingga ketika laki-laki itu tidak lagi bekerja dan mampu memberi nafkah bagi istri dan anak-anaknya, dunianya runtuh dan hancur lebur. Ia merasa tidak lagi cukup berharga di mata istri dan anak-anaknya, karena itu sikapnya menjadi sangat agresif (memukul, mengancam dll). Kondisi ini akan semakin menjadi-jadi, ketika laki-laki itu tidak mau menerima kenyataan dengan lapang hati. Dia tidak lagi mampu berpikir, bahwa orang yang kena stroke sebenarnya juga masih bisa bangkit dan produktif. Kalau orang-orang yg punya cacat fisik saja bisa melukis dll, kenapa tidak? Sudah cukup lama Ibu Ivy sendiri, tunduk pada situasi ini, dan tidak punya keberanian untuk mendidik suaminya untuk bersikap asertif dengan keterbatasan fisiknya. Akibatnya, Ibu Ivy dan anak-anak menjadi korban (kekerasan dalam rumah tangga). Upaya yg masih bisa dilakukan menurut saya, adalah mendatangi seorang ahli, dan merekonstruksi semua situasi dan kondisi yang ada di dalam rumah tangga mereka, serta mencari jalan keluarnya. Melakukan treatment dan edukasi kepada suami (sambil berdoa memohon pertolongan Tuhan), agar sikap Rian tidak semakin menjadi-jadi, dan Ibu Ivy tidak perlu mengorbankan pekerjaannya hanya untuk meladeni suami yg mengalami krisis identitas. Terlalu mahal harga yg harus dibayar untuk seorang istri, kalau dia harus mengorbankan semua yg dapat dikerjakannya. Padahal ia juga harus menjadi tulang punggung keluarga. Untuk Ibu Ivy, bangkit, hadapi dan cari solusinya. Jangan mmau menyerah! God never shuts one door without opening another!