Ivy (45), seorang manager di sebuah
institusi swasta di kota metropolitan B, tiba-tiba
menumpahkan seluruh uneg-uneg yang
telah puluhan tahun ia simpan dalam hatinya. Kesuksesan karier dan materi
ternyata tak diikuti oleh kesuksesannya dalam hidup berkeluarga. Di kantor ia
sungguh disegani oleh para kolega dan bawahannya, tetapi di rumahnya, ia adalah
seorang istri yang tak ada artinya di mata suaminya, ditekan, tidak dihargai,
dicurigai, tidak dipercaya dan sering menerima perlakuan kasar suaminya yang
menganggur di rumah. Beruntung anak-anaknya memberinya tempat yang luar biasa
baginya sebagai seorang ibu yang sangat mereka sayangi dan banggakan.
Dengan terisak, ia menceritakan semua kepedihan yang ia
alami di rumah. Berawal ketika suaminya, sebut saja Rian, terkena serangan
stroke pada tahun 2004, saat dimana sang suami sesungguhnya sedang menikmati
gemerlap kesuksesannya sebagai seorang pialang saham. Bukan hanya itu, saat itu
Rian yang berwajah menawan itu juga berhasil melejitkan bisnis gym yang ia bangun
sendiri dan dikelola kawan-kawannya. Hampir tak ada lagi hari-hari yang tak
terisi dengan kisah sukses pekerjaan dan gelimang uang.
Namun rupanya gairah kerja dan godaan untuk makin dan
semakin sukses justru telah mengantarnya pada situasi yang sama sekali tak
diharapkan. Hanya berselang sekitar 2 tahun pesta kejayaan itu dinikmati, sang
pialang terserang stroke.
Selama Rian dirawat di rumah sakit selama hampir 2 minggu Ivy tak pernah meninggalkan suaminya sendirian. Sepulang kerja, Ivy selalu
berada di samping suaminya hingga pagi berikutnya ketika harus berangkat ke
kantor. Ia dengan telaten mengatur posisi tangan, kaki, kepala dan seluruh
bagian tubuh Rian yang sedang tak berdaya itu agar berada dalam posisi yang
tepat karena harapannya kelak seluruh anggota badan suaminya berfungsi normal.
Ketika Rian mulai bisa berbicara lagi, setelah mengalami
gangguan ‘sulit bicara’ selama hampir dua minggu, Ivy merasakan kembali
suasana rumahnya ketika bersama-sama suami menghabiskan hari-harinya. Tetapi bukan
suasana hangat penuh kemesraan, sebaliknya sebuah tragedi komunikasi yang
selama 10 tahun ini telah ia tutupi dengan rapi di depan banyak orang. Rian mulai
agresif lagi menyerangnya, juga ke anak-anaknya, yang katanya suami sakit tidak
dirawat dengan benar, tidak diperhatikan, dan menyalahkan hampir semua yang
sudah dilakukan Ivy dan anak-anaknya selama Rian lumpuh dan hampir tak bisa
bicara.
Ternyata Ivy bukanlah istri yang mendapatkan kasih sayang
berlebih seperti bayangan kakak-kakak dan ibunya. Apa yang sesungguhnya terjadi
selama ini adalah bahwa kedua pasangan ini sudah gagal membangun komunikasi
yang asertif, yang dibangun atas dasar pikiran, perasaan dan keinginan yang
ditujukan untuk pasangannya dengan saling menjaga perasaan satu sama lain. Sang
suami cenderung agresif bahkan kadang kompulsif.
Tak jarang tanganpun turut berbicara di tengah-tengah amarah yang tak
terkendali.
Sudah lebih dari 10 tahun Ivy berusaha menyembunyikan kebusukan Rian,
terutama di depan keluarganya. Ia sangat menghormati suaminya dan ingin menjaga
nama baiknya. Jauh dalam hatinya, ia berkeyakinan bahwa suatu saat pasti akan
berubah, sehingga biarlah orang-orang hanya tahu bahwa Rian memang seorang
suami dan ayah yang baik-baik saja. Tetapi keyakinannya ternyata tak kunjung
terwujud, bahkan sebaliknya ia menerima ketidakpercayaan, tekanan dan
kecurigaan yang makin berlebih setelah stroke menyerang suaminya. Kini Rian justru
kian mudah tersinggung, mudah marah dan reaktif dalam merespon permasalahan
yang dihadapi meski pada kenyataannya tidak ada hal yang perlu dipersoalkan.
Ivy tahu, bahwa sejak minggu pertama perkawinannya, egosentrisme
Rian sudah dapat ia rasakan. Tetapi, seperti nasehat ibunya, “Ini kan pilihanmu
sendiri, ya harus kamu terima dan jalani!” Oleh karena itulah ia pasrah saja
menjalani semua yang terjadi.
Di kalangan orang Jawa masih ada ungkapan, yang sejujurnya
sangat tidak adil, tetapi masih banyak diugemi,
dipatuhi dan dijalani, yakni ketika seorang perempuan itu sudah menjadi seorang
istri maka terhadap suaminya dia hanya “swarga
nunut neraka katut”. Bila diterjemahkan secara bebas artinya kurang lebih
adalah ke surga yang serba enak dan bahagia, istri numpang, ke neraka yang
panas dan menyiksa, dia juga turut serta. Ketidakadilan ajaran Jawa ini adalah salah satu bentuk legitimasi dominasi pria atas perempuan. Dalam konteks yang lain, bisa berarti dominasi si kaya terhadap si miskin untuk sebuah hubungan kerja buruh-majikan; bisa juga dominasi pemerintah atas rakyatnya disaat pemerintah merasa sebagai penguasa atas segala yang ada di negeri ini; serta ketidakadilan lain yang tercipta dalam hubungan antar individu atau kelompok untuk kepentingan yang lain.
Rumah tangganya bukanlah neraka, tetapi egosentrisme Rian yang sangat kuat seringkali
membuat Ivy dan anak-anaknya merasa terjepit. Semua aktivitas sehari-hari istri
dan anak-anak hanya dilihat dari sudut pandang sang suami. Ketika dinilai tidak
sebangun dengan perespektif Rian, maka Ivy dan anak-anaknya hanya mampu diam mendengar semua serangan menyalahkan tanpa
bisa melakukan pembelaan.
Sesungguhnya Ivypun tak pernah bersikap pura-pura ketika menerima penilaian negatif suaminya. Lagi-lagi, seperti yang sudah diajarkan ibunya sejak kecil, perempuan harus tunduk dan pasrah pada suami, maka iapun bersikap sendiko dawuh, nurut kepada sang suami.
Sesungguhnya Ivypun tak pernah bersikap pura-pura ketika menerima penilaian negatif suaminya. Lagi-lagi, seperti yang sudah diajarkan ibunya sejak kecil, perempuan harus tunduk dan pasrah pada suami, maka iapun bersikap sendiko dawuh, nurut kepada sang suami.
Beberapa kali Ivy pernah hampir menabrak mobil lain di
jalanan, misalnya, hanya karena ia ketakutan telat sampai di rumah. Dibenaknya waktu
itu, ia tak boleh melanggar aturan yang sudah dibuat suaminya. Rian tak pernah
mau peduli apakah istrinya pulang terlambat karena pekerjaan kantor atau macet
di jalan.
Meski hanya sendiko dawuh menjalani semua ini, bahkan kelihatan sebagai istri yang tegar, rupanya tak demikian dengan respon tubuhnya. Ivy sudah mengalami gangguan faal atau fungsional beberapa organ tubuhnya karena stres, yaitu terjadi penyempitan pembuluh darah di jantungnya, gastritis (maag) dan juga gangguan sistem pernafasan. Tentu saja, gangguan fisik (somatik) semacam ini bukanlah pilihannya. Ia berharap baik mental maupun fisiknya sama-sama kebal dan tahan menghadapi semua ini. Oleh karena itu, ia menyadarkan dirinya sendiri untuk menyelamatkan raganya yang masih sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya.
Ternyata bukan hanya Ivy yang kemudian sadar bahwa tak “semua baik adanya” di rumah tangga ini, ibunya-pun yang sudah mengajarkan sikap tunduk seorang istri pada suami, kini mulai bersikap, apalagi bila mendengar suami Ivy main tangan hanya karena kecurigaan tanpa dasar. “Apa mencari istri itu hanya untuk dipukuli?” ujar ibunya. Padahal semenjak ia menikah, sang ibu kelihatan sangat menyayangi menantunya.
***
Seiring dengan penarikan diri dari semua aktivitas pekerjaan,
gym milik Rian-pun pada akhirnya tutup. Meski masih bisa bepergian dengan sepeda
atau motor, Rian memang memilih tinggal di rumah saja. Ada satu dua orang teman
pernah mengunjunginya ke rumah. Beberapa diantara mereka sempat bercerita,
bahwa Rian ketika masih menjadi bos gym, sikapnya sangat kasar dan sangat
tidak menghargai kawan-kawannya sendiri yang bekerja padanya. Tetapi merekapun
tak dapat berbuat apa-apa karena dari dialah mereka mendapatkan nafkah.
Ivy yang tak mau gagal dalam hidup berkeluarga, mati-matian mempertahankan keutuhan keluarganya, apalagi
anak-anaknya sudah beranjak dewasa, ia tak ingin meninggalkan teladan yang tak
pantas. Demi menjaga keamanan dan ketenangan, terpaksa Ivy
memutuskan bahwa dia dan anak-anaknya harus tinggal di rumah ibunya, sementara sang suami tinggal terpisah
di rumahnya sendiri. Ini
bukan pisah ranjang tetapi sekedar mengurangi intensitas komunikasi belaka.
Kini, Ivy dan anak-anaknya masih sabar menunggu terjadinya
perubahan suasana dalam rumah tangganya. Mereka semua berharap akan ada sesuatu
yang membuat seluruh anggota keluarga dapat bekerja dan belajar dengan tenang,
demi masa depan anak-anak mereka yang sangat butuh kasih sayang, kebebasan dan
kebahagiaan. (Iono Sandjojo)
Catatan:
Anda ingin membantu Ivy dan keluarganya menghadapi semua itu? Ingin memberikan dukungan agar kuat menghadapi tantangan pelik hidupnya? Atau ingin membagi pengalaman untuk membantu meneguhkan hatinya? Silakan tulis semua yang ingin anda sampaikan di komentar di bawah ini. Terima kasih dan salam hangat.
5 comments:
kalau keadaan rumah itu engga nyaman, kasian anak2. tempat yang seharusnya nyaman dan sehat, menjadi tempat yang sebaliknya. tidak adil buat anak2, hak mereka adalah hidup di lingkungan yg sehat.
'inikan pilihanmu sendiri, ya harus kamu terima dan jalani!' -> memang keluar dari seorang Ibu, tetapi saya engga setuju, maaf.
yg jalani dan merasakan mba ivy sendiri.. :) pasti deep down in your heart udah tau jawabannya kan?
Kalau bisa cerai kenapa nggak cerai aja to bu? Maaf, ini bukan provokasi, tetapi kan harus ada penyelesaian. Main sinetron kok di rumah sendiri to?
Iya....suami apaan sih kayak begitu? Kalau saya jadi istrinya.....sudah saya tukarkan dengan abu gosok, lebih bermanfaat!
Ivy ini masih mau nunggu perubahan dalam rumah tangga yang seperti apa? Nunggu sampai tambah panas? Nunggu sampai semua keok? Nunggu keajaiban? Atau nunggu ada Spiderman yang datang menolong?
Tapi hebatlah kalau ibu masih sabar untuk menunggu....
Saya sangat menghargai upaya dan pengorbanan Ibu Ivy untuk terus mempertahankan kehidupan keluarganya. Namun harapan, bahwa suatu saat Rian, suaminya akan berubah, menurut saya, mustahil. Tidak mudah mengubah karakter seseorang, apalagi dengan "keterbatasan fisik" (karena stroke). Bagi laki-laki, pekerjaan itu adalah dunia dan harga dirinya, sehingga ketika laki-laki itu tidak lagi bekerja dan mampu memberi nafkah bagi istri dan anak-anaknya, dunianya runtuh dan hancur lebur. Ia merasa tidak lagi cukup berharga di mata istri dan anak-anaknya, karena itu sikapnya menjadi sangat agresif (memukul, mengancam dll). Kondisi ini akan semakin menjadi-jadi, ketika laki-laki itu tidak mau menerima kenyataan dengan lapang hati. Dia tidak lagi mampu berpikir, bahwa orang yang kena stroke sebenarnya juga masih bisa bangkit dan produktif. Kalau orang-orang yg punya cacat fisik saja bisa melukis dll, kenapa tidak? Sudah cukup lama Ibu Ivy sendiri, tunduk pada situasi ini, dan tidak punya keberanian untuk mendidik suaminya untuk bersikap asertif dengan keterbatasan fisiknya. Akibatnya, Ibu Ivy dan anak-anak menjadi korban (kekerasan dalam rumah tangga). Upaya yg masih bisa dilakukan menurut saya, adalah mendatangi seorang ahli, dan merekonstruksi semua situasi dan kondisi yang ada di dalam rumah tangga mereka, serta mencari jalan keluarnya. Melakukan treatment dan edukasi kepada suami (sambil berdoa memohon pertolongan Tuhan), agar sikap Rian tidak semakin menjadi-jadi, dan Ibu Ivy tidak perlu mengorbankan pekerjaannya hanya untuk meladeni suami yg mengalami krisis identitas. Terlalu mahal harga yg harus dibayar untuk seorang istri, kalau dia harus mengorbankan semua yg dapat dikerjakannya. Padahal ia juga harus menjadi tulang punggung keluarga. Untuk Ibu Ivy, bangkit, hadapi dan cari solusinya. Jangan mmau menyerah! God never shuts one door without opening another!
Post a Comment