Monday, December 31, 2012

Pasung Parigi

Antara Sakit Jiwa, Kemiskinan dan Ketidakberdayaan


Sambil menenteng sapu lidi yang baru saja dipakai untuk membersihkan kotoran ayam yang berceceran di dekat rongsokan mobil di halaman rumahnya, Rokayah (52), ibunda Toni (31), memberi isyarat agar anak lelakinya yang sedang telanjang untuk segera memakai sarung ketika melihat saya memasuki pekarangan rumahnya. Meski kelihatan kerepotan karena tangan kanan  dan kedua kaki Toni dipasung dengan rantai besi yang ditambatkan pada sepotong besi bekas rel kereta, ia tetap berusaha melilitkan sarung berwarna hijau kotak-kotak itu hingga menutupi auratnya.

Tuesday, September 4, 2012

Candi Cetho

Dibangun pada masa pemerintahan Majapahit di abad 15, candi Cetho yang bercorak Hindu hingga kini masih berperan dalam upacara-upacara pemujaan, bukan hanya umat Hindu tetapi berbagai aliran kepercayaan yang meyakini bahwa candi ini adalah tempat melakukan upacara ruwatan atau tempat untuk membebaskan dari kutukan.

Friday, May 18, 2012

Subuh di Kota Palu

Mataku berbinar menyaksikan sebuah oasis di fajar hari yang sungguh tak terbayangkan. Perjalanan darat semalam suntuk dari Buol ke Palu yang berliku dan hampir diselimuti kegelapan sepanjang jalan, telah membuat mataku layu dan seluruh tubuhku lunglai. Tetapi gemerlap lampu yang membentuk lengkung-lengkung megah dari kejauhan itu telah membangunkanku dari rasa kantuk yang berat. Dari dekat, jembatan lengkung Ponulele yang bertaburan lampu itu sungguh sebuah wahah yang tidak sekedar menjadi ornamen perkotaan tetapi representasi gairah  masyarakat Palu yang juga menghapus redup semangatku di subuh yang masih sepi ini.

Friday, May 4, 2012

Sugriyah

Pengabdian Seorang Istri Untuk Suami yang Gangguan Jiwa

 
Sugriyah terpaksa harus berpindah-pindah menginap dari tetangga yang satu ke tetangga berikutnya agar dapat tidur dengan tenang. Sudah puluhan tahun ia tak berani tidur di rumahnya sendiri karena takut dicelakai oleh suaminya yang sakit jiwa. Pagi hari ia kembali ke rumah untuk menyiapkan kopi untuk suaminya sebelum Sugriyah berangkat kerja sebagai buruh tani di sawah-sawah tetangga. Ia mengambil alih peran sebagai kepala rumah tangga tetapi sekaligus seorang istri yang hidup dalam ketakutan.