Friday, May 4, 2012

Sugriyah

Pengabdian Seorang Istri Untuk Suami yang Gangguan Jiwa

 
Sugriyah terpaksa harus berpindah-pindah menginap dari tetangga yang satu ke tetangga berikutnya agar dapat tidur dengan tenang. Sudah puluhan tahun ia tak berani tidur di rumahnya sendiri karena takut dicelakai oleh suaminya yang sakit jiwa. Pagi hari ia kembali ke rumah untuk menyiapkan kopi untuk suaminya sebelum Sugriyah berangkat kerja sebagai buruh tani di sawah-sawah tetangga. Ia mengambil alih peran sebagai kepala rumah tangga tetapi sekaligus seorang istri yang hidup dalam ketakutan.


Sambil membungkuk dan menyibakkan ranting-ranting perdu di tepi jurang kecil yang memisahkan perkampungan dan jalan setapak menuju rumahnya pada siang hari itu, Sugriyah (44) mencoba menunjukkan letak rumahnya yang berada di lereng sawah di seberang sana. Ia sangat hati-hati karena suaminya tak senang ada orang lain datang apalagi mengusik ketenangan tempat tinggalnya. Sejak Nur Ali (52), suaminya, sakit ingatan lebih dari sepuluh tahun lalu, hidup Sugriyah sudah tidak lagi bebas seperti para tetangga lainnya.

Rumahnya sangat sederhana, terletak agak jauh dari para tetangga. Untuk mencapai rumahnya yang berada pada lereng bukit kecil, orang harus melewati pekarangan orang, menyeberangi saluran lembah sempit, dan menyusuri pematang sawah.

Ketakutannya sejenak terlihat ketika dia mencoba menceritakan secara ringkas situasi rumah tangganya. Tiba-tiba ia diam membisu kemudian menjauh sedikit dariku. Ketika aku menoleh ke belakang, mata para ibu yang sedang berdiri di emperan rumah dan di pinggir jalan desa tertuju pada seorang pria kurus, tinggi yang sedang melintas. Aku sempat melihat raut wajah pria yang kelihatan misterius itu. Akupun mengangguk-angguk ketika seorang warga memberi isyarat, dialah yang bernama Nur Ali. Ia berjalan dengan langkah tegap, mata selalu lurus menatap ke depan, tidak mau menyapa siapapun, dan di pinggang kirinya bergantung sebuah parang panjang.

Melihat situasi seperti ini beberapa orang ibu menyarankanku untuk mengurungkan niatku menemui Nur Ali di rumahnya. Setelah kujelaskan apa yang akan kulakukan di sana, merekapun was-was ketika aku dan Sugriyah beranjak menuju ke rumahnya yang secara administrasi masuk  Dusun Pasir Tundun RT 22/11, Desa Kadudampit, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

“Assalamualaikum,” teriakku kira-kira 50 meter jaraknya dari tempat Nur Ali sedang berdiri membawa cangkul di sudut kebunnya. “Waalaikumsalam!” ia berteriak menjawab. Aku mendekatinya, berbasa-basi sebentar dan kemudian kurangkul dia sambil berjalan menuju ke rumahnya. Wajah Nur Ali tampak cerah dan senang menerima kehadiranku. Kamipun ngobrol di teras rumah sambil mengisap rokok kretek kegemarannya yang kubawakan dari warung di seberang lembah.

Sugriyahpun tampak lega ketika aku dan suaminya bercakap-cakap sambil sesekali tertawa lepas. Meski isi pembicaraan kurang terarah, komunikasi terus kejaga agar Nur Ali tetap fokus pada kebaikannya menerima kadatanganku. Aku mencoba melemparkan beberapa pertanyaan ringan, selebihnya aku membiarkan dia bercerita sendiri tentang apapun yang dia mau. Pikirannya tampak berkabut, ingatannya tentang hal-hal yang sudah lalu juga kabur, orientasinya tentang waktu kelihatannya sudah hilang dan tak jelas apa yang ingin ia ceritakan. Tetapi ia masih mampu meluruskan informasi lokasi ketika seorang tetangga yang tiba-tiba menginterupsi perbincangan kami tentang letak rumah seseorang di kampung itu. Belakangan baru kuketahui bahwa Muhajir (50), orang yang menginterupsi tadi, adalah orang sakit jiwa kedua di dusun kecil ini.

Nur Ali
Nur Ali pernah mengenyam pendidikan pesantren dan kemudian dilanjutkan berguru ke pulau Sumatera untuk menambah ilmu agama. Ia lupa di provinsi mana belajar agama. Ia hanya ingat ketika pulang dari merantau, ia kembali ke desa ini dan tinggal di gubuk ini. Selebihnya ia sudah tak ingat apa-apa lagi tentang dirinya.

Sugriyahpun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya. “Kalau orang kampung, menyebutnya suami saya ini kebanyakan ilmu tapi nggak kuat,” begitu ujarnya singkat. Pengobatan ke orang-orang pintar sudah dilakukan kala itu, tetapi tidak ada hasilnya. Ia sama sekali belum pernah berpikir membawa suaminya ke dokter jiwa atau rumah sakit jiwa, bukan hanya karena tak punya uang tetapi ia juga tidak tahu apa itu dokter jiwa dan rumah sakit jiwa. Ia pasrah saja ketika kemudian suaminya berperilaku aneh dan tak dapat diatur oleh siapapun. 


Tak banyak yang dapat dilakukan Nur Ali sejak itu. Setiap pagi, selepas minum kopi, ia pergi entah kemana. Lewat tengah hari, ia kembali ke rumah. Ia hampir tak pernah lagi bergaul dengan tetangga, kecuali satu-dua orang yang sering melintas pekarangannya ketika akan pergi ke ladang. Dengan beberapa orang ini Nur Ali masih berkomunikasi, meski ala kadarnya. Bila suasana hatinya sedang baik, Nur Ali mau juga merawat kebun, menanam sayuran atau memetik kelapa di kebunnya sendiri seperti yang diminta Sugriyah.

Pohon kelapa memang cukup banyak berdiri di pekarangan rumahnya yang luasnya kurang lebih 2000 meter persegi ini. Kadang dari butir-butir kelapa yang dipetik suaminya, Sugriyah dapat menjual ke tetangga, sekedar untuk menambah penghasilan. Di kebun inilah Sugriyah menanam sayuran dan buah-buahan yang dapat ia petik untuk dimakan sendiri. Seandainya tak dijual suaminya beberapa tahun yang lalu, tanah Sugriyah lebih luas lagi, bahkan ada empang ikan yang dapat memberinya lauk tambahan. 

***

Sugriyah dalam alam pikiran Nur Ali (berdiri tengah)

Sugriyah menunjukkan bagian-bagian rumahnya yang dirusak dan dibakar oleh suaminya. Beberapa bagian dinding dari anyaman bambu itu memang tampak bolong dan dibiarkan tetap berlubang, sebagian lagi sudah ada yang ditambal dengan kertas Koran. Bahkan ada bagian dinding yang tampak hitam legam karena pernah dibakar Nur Ali. Untung ketika itu Sugriyah sigap memadamkan dengan air yang tersedia sepanjang tahun di belakang rumahnya. Ada beberapa genteng yang katanya sengaja dibuang suaminya, entah apa alasannya, sehingga bila hujan datang, air membasahi lantai kayu rumah panggungnya yang berukuran 5 x 7 meter ini. Dapurnya kosong, kecuali tungku kecil dari tanah liat. Ada beberapa peralatan dapur kusam tergantung di dinding yang sudah berwarna kehitam-hitaman tak terurus.


Dengan segala keterbatasan yang ada, Sugriyah mencoba menjadi seorang istri sekaligus perawat yang baik bagi suaminya. Dengan penghasilannya yang tak pernah lebih dari Rp.10.000,00 per hari yang ia peroleh bila ada orang yang menyuruhnya membersihkan rumput di sawah-sawah, Sugriyah berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Penghasilan inipun tak setiap hari ia dapatkan. Di saat seperti ini para tetangga sering berbaik hati dengan menyuruhnya kerja serabutan dan mendapatkan imbalan sekadarnya. Yang penting baginya, dapat membelikan kopi, rokok dan beras untuk suaminya. Ia sendiri dapat dengan mudah memperoleh makan nasi dari para tetangganya, termasuk tempat untuk tidur di malam hari.

Ini dibenarkan oleh Nur (30), seorang ibu muda tetangganya, bahwa warga dusun Pasir Tundun ini tidak tega membiarkan Sugriyah terlantar. “Kami memang menyarankan dia untuk tidur di rumah siapa saja yang dia inginkan asal aman. Kadang juga dia memilih tidur di rumah anak perempuannya,” ujarnya sambil menunjuk arah rumah anak Sugriyah yang tinggal bersama suaminya. Kepedulian juga ditunjukkan oleh warga dusun yang memiliki warung-warung (sangat) kecil yang buka di balik jendela-jendela rumah, – ini adalah cara bijak warga dusun ini untuk memperpanjang usia rejeki tinggal di rumah mereka – yang selalu siap memberikan bantuan kepada Sugriyah bila ia butuh rokok dan kopi untuk suaminya. Tentu saja Sugriyah membayarnya kembali bila sudah punya uang. Kohesivitas sosial yang sungguh-sungguh nyata diwujudkan oleh orang-orang desa yang lugu, miskin dan rata-rata berpendidikan rendah.

Meski ia harus terus hidup dalam ketakutan, tak pernah terbesit untuk meninggalkan Nur Ali. Ia sendiri sama sekali tidak menampakkan kesedihan dan penderitaan hidupnya. Dalam keluguannya, Sugriyah justru menunjukkan keteguhan imannya untuk menjalani semua itu dengan ikhlas dan tanpa beban apapun.

Sugriyah dan Nur Ali berdiri di teras rumahnya
Sebelum meninggalkan rumahnya, Sugriyah dengan sangat keibuan menyuruh suaminya mengambilkan beberapa butir kelapa muda untuk kubawa pulang. Dengan gesit ia segera melompat ke sebuah pohon kelapa gading dan segera menjatuhkan beberapa butir kelapa muda. Sepasang suami istri tetangganya yang sedang lewat pekarangan rumahnya berhenti sejenak, mengambil kelapa-kelapa muda itu lalu mengeluarkan parangnya dan memotong bagian atas dan bawah, persis seperti ketika para pedagang akan menyajikan kelapa muda untuk para pembelinya, tanpa ada yang menyuruh atau memintanya. Hatiku sangat tersentuh oleh kerukunan orang-orang dusun ini.

Khasan (48), lelaki baik hati ini, segera mengikat butir-butir kelapa tadi dan menyuruh Muhajir, penderita gangguan jiwa yang sejak tadi nimbrung pembicaraan di tempat ini, untuk membawanya ke mobil yang kuparkir jauh di ujung dusun Kadu Dampit ini. Luar biasa. Sebuah pemandangan yang menghapus gambaran-gambaran warga yang menakutkan tentang Nur Ali dan sakit jiwanya.

Belum 50 meter aku berjalan, kulihat Sugriyahpun menyusul di belakangku kembali ke desa karena ia ingin tidur di rumah Nur malam ini.  “Takut terjadi apa-apa di rumah” katanya sedikit menahan senyum. Selamat berjuang saudariku. (Iono Sandjojo)

6 comments:

Maryam Kurniawati Sutanto said...

Pengabdian Ibu Sugriyah terhadap suaminya Nur Ali, yang sakit jiwa sangat menginspirasi saya. Bagaimana cinta dan kasih sayang mampu menghalau ketakutan, dan kebimbangan karena keterbatasan-keterbatasan secara fisik dan non-fisik. Hidup bersama suami yang sakit jiwa selama bertahun-tahun tidak mampu menghapus cinta dan kasih sayang yang ada di dalam hatinya. Ini sebuah pembelajaran dan nilai luhur bagi setiap orang (khususnya pasangan suami dan istri), bahwa segala bentuk kekurangan dan kelemahan, tidak menjadi penghalang untuk terus mencintai dan mengasihi orang lain. Betapa sering, kelemahan dan kekurangan orang lain kita jadikan sebagai alasan untuk "meniadakan" orang lain, karena menjadi "penghalang" dan "ancaman" bagi kita untuk menggapai cita-cita dan cinta?!
Hanya dibutuhkan "kesederhanaan" dan "ketulusan" hati dan jiwa. Kesederhanaan dan ketulusan hati dan jiwa akan menolong kita untuk terus mencintai dan mengasihi orang lain, betapa pun banyaknya kelemahan dan kekurangan mereka. Dibutuhkan perubahan pola pikir kita, untuk menempatkan keterbatasan dan kekurangan orang lain, sebagai peluang atau kesempatan untuk menguji hati dan jiwa kita dengan melakukan perbuatan yang mulia.

Maryam Kurniawati Sutanto said...

Pak Iono, ijin share ya. Terimakasih :)

Iono Sandjojo said...

Terima kasih ibu. Saya malah sangat senang bila dishare. Monggo! Saya mulai membaca tulisan-tulisan Education for Change satu persatu yang sebangun dengan interest dan visi saya. Jujur, saya merasa sangat terbantu karena tulisannya dapat menjadi salah satu referensi yang berbobot.

Tuhan memberkati.

Des Alam said...

Pak Iono numpang koment ya...
"mungkin karena telalu jauh menuntut ilmu pak Nur ali menjadi orang yg tidak jelas pikirannya...Kejadian seperti yg di alami oleh pak nur ali juga pernah saya temui.mungkin ini adalah contoh kalau kita manusia mempunyai batas kemampuan."

Unknown said...

ya begitulah, semakin lama kamu tinggal dengan orang yang km sayangi, semakin km merasa dialah segalanya, tak perduli bagaimana dia sekarang. nice share..btw udah ane follback gan. sering2 mampir ya di www.duniagenggam.blogspot.com

Iono Sandjojo said...

Des Alam@ Betul juga bahwa manusia punya keterbatasan kemampuan, tetapi saya belum yakin apakah Nur Ali mengalami gangguan karena benar2 kebanyakan ilmu atau karena penyebab lain.

Hendrik Cahyono@ Thanks sudah follow bro. Blog ini memang punya misi men-sharingkan konflik batin orang-orang yang bergelut dengan masalah kejiwaan. Untuk pages ODMK/KODMK, saya sendiri hanya menggali informasi dibalik kehidupan mereka. Saya berharap kisah-kisah para ODMK dan KODMK dapat mengundang empati para pembaca. Dukungan, minimal doa dan perhatian untuk mereka, akan sangat meringankan beban hidup mereka.

Salam hangat.