Saturday, January 1, 2011

DIALAH IBUKU

Ketika aku pergi mengunjungi anakku yang duduk di tahun pertama di sebuah SMU di salah satu kota kecil di Jawa Tengah pertengahan November 2010 yang lalu, dia menyerahkan tiga lembar kertas folio berisi tulisan tangannya. Dia bilang itu tulisan yang disusun untuk bahan presentasinya di Sidang Akademi yang dia bawakan pada awal bulan itu. Judulnya "Dialah Ibuku". Melihat judulnya, perasaan hatiku mendorongku untuk segera menelusuri baris demi baris tulisan anakku. Aku ingin segera tahu apa yang dia ekspresikan dalam tulisan yang katanya mendapat sambutan cukup hangat dalam sidang akademi yang dihadiri kawan-kawan satu medan, sekitar 70 siswa. Dia mengatakan bahwa peserta sidang tak mengetahui ini kisah siapa, karena anakku menjadikan dirinya dalam kisah itu sebagai orang ketiga. Mataku mulai berkaca-kaca, bahkan tangisku hampir tak tertahankan. Keharuan yang mendalam justru meluruhkan rasa capai karena semalam nyetir mobil dari Jakarta ke kota ini untuk mengantarkan bantuan obat-obatan dan barang kebutuhan dasar untuk para pengungsi korban bencana meletusnya Gunung Merapi yang puncak letusannya terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010 yang lalu.

Berikut ini adalah tulisan anakku yang aku up load di blog ini setelah mendapat persetujuannya.


Dialah Ibuku
Oleh John Sandjojo

Siang itu panas sangat terik. Sekolah sudah mulai sepi. Hanya beberapa guru dan petugas yang kadang kelihatan berjalan melewati lorong-lorong panjang di depan kelas.  Aku duduk termenung di bawah pohon Filicium di pinggir lapangan basket sekolah. Semua temanku sudah pulang. Rasanya malas untuk pulang. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di rumah jika aku pulang. Aku tidak siap untuk menghadapinya. Hatiku resah. Ingin sebentar saja membaringkan kegalauan hatiku ini dibawah bayang-bayang daun Filicium yang melambaikan jari-jarinya kepadaku.

Pikiranku melayang menyusuri relung-relung peristiwa yang pernah kulalui bersama ayahku dan dua orang adikku laki-laki.


Waktu itu aku masih kelas 3 SD. Aku merasakan bahwa ibuku makin lama makin galak. Hanya itu penilaian saat itu. Penilaian yang sederhana karena aku belum mengerti apa-apa. Dimulai ketika ibuku sering berteriak-teriak dengan kata-kata kasar kepada pembantu rumah tangga kami. Suaranya sangat berisik dan mungkin terdengar dari rumah tetangga. Kejadian lainnya saat kulihat ayah dan ibuku berdebat. Ibu menuduh ayah punya wanita lain karena sering tidak pulang. Padahal ayah memang pergi ke luar kota untuk urusan kantor, bukan untuk kepentingannya sendiri. Mengapa ibu bisa menuduh seperti itu? Masih banyak lagi kejadian-kejadian yang menyisakan tanda tanya dalam hatiku. Diantara sekian banyak peristiwa, ada satu kejadian yang menurutku paling menyesakkan. Saat sedang duduk berdua dengan ibu tiba-tiba beliau bertanya, "Kalau ayah dan ibu berpisah, kamu mau ikut siapa?" Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba menusuk hatiku. Pikiranku kacau mendengarnya. Mengapa ibu bertanya seperti itu? Ada apa? Masih banyak kejadian tentang ibu yang memunculkan kata mengapa dihatiku. Belakangan kulihat ayahku jadi sering murung dan termenung.

Pada suatu ketika, akhirnya pertanyaanku itu terjawab. Semua jelas di hari yang sangat mengejutkanku dan mungkin menjadi hari yang paling ganjil dalam hidupku.


Suatu malam ayah mengajak kami berkumpul di ruang keluarga. Katanya besok sekeluarga akan pergi ke Ancol. Aku dan adikku Chardo serta ibu merasa senang dengan ajakan ayah tersebut. Tetapi aku bingung, bukankah besok adalah hari biasa, bukan hari libur. Kata ayah tidak apa-apa sekali-kali ijin tidak masuk sekolah. Setelah ayahku membujuk-bujuk, aku dan adikkupun rela untuk tidak masuk sekolah, bahkan kini sangat bersemangat untuk menikmati liburan di taman wisata di Jakarta Utara itu.


Khayalan-khayalanku tentang atraksi-atraksi menarik di Ancol menghiasi benakku ketika pagi harinya kami berangkat ke Ancol. Aku dan adikku memandangi lalu lalang kendaraan yang meluncur cepat di jalan tol sambil memperbincangkan berbagai kegembiraan yang nanti kami dapatkan di taman impian tersebut. Tiba-tiba ayah menerima SMS. Bosnya kena serangan jantung dan sedang dibawa ke Rumah Sakit Carolus Jakarta. Ayah bilang kalau dia diminta pergi ke RS itu. Ayah menanyakan kepada kami, mungkinkah rencana liburan ini ditunda karena permintaan itu? Kamipun tampaknya tak dapat menolak permintaan ayah yang sangat mendadak. Rencana liburanpun berubah menjadi kunjungan ke RS menengok bos ayahku. Kami sangat kecewa. Ayah berkali-kali minta maaf pada kami sambil mengulang-ulang kalimat bahwa ini lebih penting dibandingkan jalan-jalan. Meski kami diam, hati kami sudah sangat kecewa.

Sesampai di sana, aku, Chardo dan ibuku diminta menunggu di ruang tunggu, sedangkan ayah mencari tahu dulu informasi tentang bosnya itu. Satu jam sudah berlalu. Kami mulai bosan menunggu dan resah. Mengapa lama sekali? Akhirnya ayah datang. Katanya, prosedurnya sulit sehingga memakan waktu. Kemudian kami diajak masuk dan menyusuri lorong panjang jauh ke bagian dalam rumah sakit. Tibalah kami di pintu berventilasi kawat. Setelah memencet bel yang menempel di kusen sebuah pintu besar di depan kami itu, pintu terbuka. Sebuah ruang tamu kecil yang berhadapan langsung dengan sebuah pintu kayu besar berdaun pintu 2 berwarna hijau. Di ruangan kecil ini kami disambut oleh 3 orang, 2 diantaranya berseragam perawat dan satunya tidak.

Sejenak semua bercakap-cakap biasa tak seperti layaknya pembicaraan antara tenaga medis dan pasien. Setelah beberapa lama, ayahku menyuruh si bapak yang tak berseragam itu untuk membawa aku dan Chardo menunggu di luar. Ada apa? Kenapa ayah malah menyuruh orang yang tak kukenal menemaniku? Ayah hanya diam saja tak mengatakan apa-apa. Wajah ayahku terlihat sedih tetapi tetap tenang. Ia sempat memandang kami berdua dan memberi tanda untuk mengikuti saja apa yang ia minta. Kulihat, ibu dan ayah masuk ke pintu hijau bersama dua perawat berseragam tadi. Apa yang akan mereka lakukan? Tidak lama kemudian ayah keluar sendirian.

"Dimana ibu?" tanyaku.

"Ibu tetap disini," jawab ayahku dengan mata berkaca-kaca. "Dia harus dirawat dulu disini!" Ayah kemudian menjelaskan, meski dengan suara terbata-bata, bahwa ibu sudah menderita sakit cukup lama tetapi tidak mau dirawat di rumah sakit. Sesekali ayah terlihat mengusap matanya yang basah oleh air mata. Setelah melalui rawat jalan yang sangat panjang, ayah dan pihak rumah sakit sepakat menjalankan skenario seperti yang terjadi pada hari ini, demi kebaikan ibuku. Aku percaya pada ayah karena selama ini dia tidak pernah menyesatkan.

"Aku tidak sakit! Aku tidak sakit! Aku mau pulang!" kudengar sangat keras teriakan ibuku dari balik pintu sambil mendobrak-dobrak pintu hijau kokoh itu. Suara ibuku terdengar serak menyayat. Hatiku sangat sedih tetapi aku tak meneteskan air mataku. Serasa ada kekuatan yang membuatku dapat bertahan. Adikku hanya terdiam. Aku tidak tahu apa yang saat ini dia rasakan. Dia juga tidak menangis tetapi wajahnya tak dapat menutupi kesedihannya. Ayahkupun tak dapat berkata-kata. Dia hanya diam sambil tangannya merangkul pundak kami berdua. Wajah ayahku tampak menahan sedih yang amat dalam. Ayah kemudian menggendong adikku dan aku didekapnya lalu kami berjalan menjauh dari pintu berventilasi itu. Kami pergi dalam diam.


Belakangan aku baru diberi tahu bahwa ibu mengalami gangguan jiwa yang disebut Schizophrenia Paranoid. Penyakit yang diperkirakan diderita hampir 1% penduduk dunia. Orang yang berpenyakit ini sering mengalami halusinasi dalam pikirannya, yang dia anggap sebagai kenyataan padahal tidak ada hubungannya dengan pikiran yang dia tangkap lewat panca indranya. Penderita biasanya tidak dapat focus pada satu pembicaraan serta seringkali tidak “nyambung”. Persis yang apa yang ditunjukkan ibuku dalam sikap dan tindakannya di rumah selama ini.


Semenjak itu kami belajar hidup mandiri tanpa ibu. Bila sedang tidak ada pembantu, ayah selalu membuatkan sarapan dan kami membeli lauk pauk di luar untuk makan siang dan malam. Setiap malam kami berkumpul bersama berdoa supaya ibu lekas sembuh. Dua kali seminggu kami menjenguk ibu. Setiap kali bertemu ibu kami harus meyakinkan ibu agar tidak ikut pulang ataupun kabur.

Jika mulai membaik, ibu boleh pulang tetapi harus minum obat secara teratur. Masalahnya, seringkali ibu tidak merasa sakit sehingga obatnya tidak diminum. Kalau sudah begitu maka kondisi kesehatan ibu makin menurun dan terpaksa ayah memasukkan kembali ke rumah sakit. Begitulah yang selalu terjadi. Sudah berapa kali ibuku keluar masuk rumah sakit.

Demikian terus berlangsung selama bertahun-tahun. Tuhan tidak kunjung mengabulkan doa kami. Cobaan kami tidak hanya itu. Keluarga besar ibuku memusuhi kami karena dianggap berbuat jahat pada saudara mereka. Sebenarnya yang dimusuhi adalah ayah tetapi aku dan adikku ikut merasakan akibatnya. Makian, hinaan, fitnah sudah biasa bagi kami. Gosip tetangga sudah membumbui hidup kami.

Di tengah semua itu ada sebuah anugerah yang datang. Saat kondisi ibuku sedang baik, lahirlah anggota baru dalam keluarga kami. Luis, itulah namanya. Seorang adik laki-laki yang lahir pada tahun 2003. Kata ayah, ketika di dalam kandungan ibuku, dokter kandungan dan doker jiwa yang menangani ibu mengkhawatirkan kondisi kesehatan janin bakal adikku itu. Selama beberapa bulan, perkembangannya dicermati secara intensif dan sangat hati-hati oleh mereka untuk memastikan apakah janin itu perlu dilanjutkan (sampai lahir) atau harus ada tindakan medis khusus bila kondisinya berbahaya bagi si calon bayi. Puji Tuhan, setelah melewati masa yang ditentukan oleh para dokter, janin adikku diputuskan untuk terus dijaga sampai lahir.

Kini, Luis justru hadir sebagai sesosok anak yang sungguh-sungguh menghadirkan kebahagiaan bagi kami. Meski sejak berumur 4 hari adikku Luis harus berpisah dengan ibuku karena ibu harus mendapat perawatan lagi di rumah sakit, ayahku yang kemudian menggantikan peran sebagai ibu di rumahku, tampaknya sama sekali tak mempengaruhi keceriaan Luis sebagai seorang bayi yang sangat sedikit mendapat kasih sayang seorang ibu. Bahkan diusianya yang baru 14 bulan, Luis harus rela kami titipkan pada Bude dan sepupu kami yang tinggal di sebuah kota berjarak 600 Km dari rumahku, bila ayah sedang sangat sibuk di kantor, tak ada pembantu, atau ketika ibu dirawat di rumah sakit. Sungguh anak yang tegar dan penuh kasih.

Tuhan sungguh baik. Dia tidak memberikan apa yang kami inginkan tetapi apa yang kami butuhkan. Ayah tidak mengatakan ini sebagai cobaan, tetapi suatu titipan dari Tuhan untuk kami jalani dan nikmati. Dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana kami dapat melihat kebahagiaan pemberian Tuhan di balik seluruh peristiwa itu.

Tahun demi tahun berlalu dan akhirnya sampai pada hari ini. Hari dimana aku duduk sendirian di sekolah menengahku ini. Aku memohon kekuatan pada Tuhan agar siap menghadapi apapun yang terjadi di rumah saat bertemu ibuku yang kini sedang kurang baik kondisi kesehatan jiwanya. 

Sayup-sayup aku mendengar suara gesekan daun-daun di ujung dahan-dahan pohon yang melindungi dari terik matahari. Hembusan angin pelan-pelan menerpa wajahku. Sejuk. Serasa ada penghiburan dalam hatiku dan tiba-tiba aku merasa siap untuk menerima semua yang akan ketemui di rumah, termasuk bila harus menerima kata-kata pahit ibuku. Karena bagaimanapun juga, dialah ibuku. (8 November 2010)

10 comments:

alin said...

Bapak,
semoga selalu dikuatkan dan diberi kesabaran. terima kasih untuk sharingnya.

Unknown said...

Trims untuk kisahnya yang menyentuh. Menyadarkan bahwa keluarga adalah anugerah yang dipilihkan Allah kepada kita – terlepas dari suka atau tidak suka. Selamat, karena Bapak sekeluarga bisa mengerti dan menerima masa-masa sulit dengan cantik, sehingga Bapak bisa dengan bangga berkata - Dialah Anakku.

Niken Aditya said...

Standing applause buat bapak yg bisa dengan sabar dan luar biasa tegar menjalani semuanya, dan SALUT untuk anak2 bapak yang hebat dan sangat-sangat pengertian yg secara tdk langsung menyemangati bapak untuk terus kuat.
Super!! :)

Unknown said...

Saya termasuk orang yg tidak pandai berkomentar,tapi setelah membaca cerita ini,saya baru rasakan peran seorang bapak terhadap keluarganya.SALUT!!!

Iono Sandjojo said...

Terima kasih untuk para sahabat yang sudah memberikan komentar dukungan, sapaan simpati, dan kehangatan persahabatan. Anda semua sungguh-sungguh orang luar biasa untuk menjadikan lingkungan sebuah rumah dan keluarga.

Salam hangat....!
Iono Sandjojo

Pakde said...

Hubungan emosi antara Ibu dan anak adalah sangat spesifik dengan "bahasa khusus" yang hanya mereka berdua saja yang tahu secara persisnya. Tak ada seorangpun di dunia ini yang tahu selain mereka berdua itu sendiri. Apapun kondisinya sang Ibu,ia tetap seorang ibu. Nampaknya, alangkah indahnya bila definisi "keluarga Normal" dapat kita nisbikan sehingga ananda John-pun dapat menikmati dan mengalami pertumbuhan dirinya dalam situasi keluarga sekarang apa adanya tanpa masalah.Mungkin kita perlu belajar kepada alam. Bahwa banjir, longsor, badai, gempa bumi dll bukanlah bencana alam tetapi ialah bagian dari keteraturan alam.Dan saya sangat yakin bw Sobatku Iono Sandjojo mampu memimpin keluarganya hidup dengan irama keteraturan alam itu. Dan mambangun jiwa-jiwa besar ketiga putra...untuk bekal mengarungi masa depannya....amien.

Iono Sandjojo said...

Terima kasih Pakde atas dukungan dan keyakinan bahwa jiwa-jiwa besar akan lahir dari situasi yang sangat spesial ini. Saya sangat sependapat bahwa alam mengajarkan keteraturan yang secara harafiah kadang terlihat 'tidak teratur'. Kepada anak-anak saya, saya hanya melakukan sebuah teladan sangat sederhana bahwa disharmoni itu indah.

Semoga sobatku Pakde menjadi teman seperjalanan kami melewati sebuah metamorfosis hidup yang sungguh menakjubkan ini.

Salam hangat.

okta said...

anak2 yang hebat,
pastinya merupakan didikan dan turunan dari orang tuanya,
orang tua yang berhasil mendidik jagoannya dengan penuh cinta kasih yang tulus,
setuju sama pakde dh,,,,

Iono Sandjojo said...

Terima kasih Abot.z.lah...
Allah itu adil...Dia menitipkan anak-anak yang terbaik kepada saya. Saya hanya menerima dan mensyukuri.

Ketika perjalanan menjadi sulit dan berat, mereka hadir membawa pesan khusus yang menguatkan.

Salam hangat

Stefans said...

The golden boy. John, anda akan menjadi orang besar!