Thursday, January 6, 2011

OPERA PASAR KAGET

Ketidaknormalan seringkali menjadi perbincangan orang – meski itu adalah manifestasi dari gangguan jiwa – tetap saja dimanfaatkan untuk bahan kelakar, hinaan dan bahkan ada juga yang memanfaatkan untuk kepentingan dagang, seperti terjadi pada peristiwa-peristiwa berikut ini. Tak perlu sakit hati. Tak perlu menyalahkan siapapun terutama si penyandang gangguang jiwa yang tak sadar dengan apa yang ia lakukan. Ini sebuah potret masyarakat kita yang tanpa sadar senang menari diatas penderitaan orang.
***
Belakangan ini muncul kebiasaan baru, belanja melebihi uang yang dibawa. Masih beruntung transaksi terjadi dengan penjual yang sudah dikenalnya. Mereka ini adalah para pedagang yang berjualan di sebuah pasar kecil yang letaknya tak jauh dari rumah tempat tinggalku. Orang-orang menyebutnya sebagai pasar kaget, karena hanya buka dari jam 6 sampai sekitar jam 10 pagi. 

Lapak-lapak darurat dari kayu tak berserut dan papan kayu lapis usang serta gerobak dorong kecil-kecil berjejer memenuhi badan-badan jalan, mulut gang, teras rumah, emperan toko, bahkan perempatan jalanpun habis dipakai untuk menggelar dagangan mulai dari sayur mayur sampai celana dalam wanita. Akhir-akhir ini malah mulai dijumpai sandal jepit, baju anak-anak, barang pecah belah dan bahkan perangkat elektronik. 

Bagi pedagang bermodal pas-pasan, menggelar dagangan di sisa-sisa ruang antara jalan dan selokan, disela-sela pohon dan gardu listrik, atau dibawah portal jalan sudahlah cukup. Sementara itu bagi sebagian pedagang yang punya modal, mereka memilih menyewa kios-kios hasil renovasi rumah-rumah tinggal warga setempat yang kini menjadi deretan ruko kecil-kecil. 
 
Kesibukan pasar kaget kian terasa di waktu pagi hari ketika para penghuni kompleks pergi berangkat kerja. Mobil dan motor harus rela merangkak pelan karena sempitnya ruang yang disisakan oleh lapak-lapak dagangan dan lalu lalang ibu-ibu yang memenuhi perempatan jalan itu. Tak jarang, warga yang terburu-buru lebih memilih mencari jalan alternative untuk keluar dari kompleks ini menuju pintu tol terdekat daripada kesal terjebak di kerumunan pasar kaget. Lewat jam 10 pagi, jalanan kembali bersih dan sisa-sisa aktivitas pasar sudah tak ada bekasnya lagi.
Aku tak menyangka kalau kebiasaan baru ini menimbulkan hal-hal yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Gangguan kesehatan jiwa istriku yang semula adalah persoalan internal keluargaku, kini dengan sangat cepat menjadi buah bibir orang-orang pasar yang menyebar sangat efektif ke semua sudut kompleks perumahan. 

Seperti cerita-cerita Kitab Perjanjian Lama, penyakit ini mirip dengan Kusta yang pada akhirnya akan dinajiskan, diasingkan, dikutuk, dan dijauhi orang tetapi tanpa sengaja menjadi hiasan bibir yang mereka bawa kemana-mana untuk menghangatkan pertemuan-pertemuan dan menyedapkan  pesta gosip sepanjang hari. Muzijat kadang datang juga ketika 1 atau 2 orang berpapasan di jalan dan menanyakan kesehatan istriku untuk sekedar basa-basi pergaulan. Selebihnya, apa yang mereka tahu tentang perkembangan penyakit istriku – entah dari cerita-cerita pembantu atau pekerja rumah lainnya – hanya menjadi bahan gurauan untuk dinikmati bersama di tempat-tempat ngrumpi.
Menurut cerita istriku, dalam seminggu paling tidak ada dua atau lebih pedagang pasar kaget datang kerumah menagih kekurangan pembayaran belanjaannya. Yang datang kerumah kadang mengatasnamakan beberapa pedagang, sehingga terakumulasi jumah hutang yang cukup besar. Hal ini berlangsung berhari-hari dan berminggu-minggu bahkan entah berapa bulan.
Aku hanya membayangkan para pedagang sayur itu menuliskan catatan di buku-buku kumal  piutang mereka nama istriku atau bahkan menuliskan namaku “Bu Djo hutang Rp 100 ribu – 13 Mei 2006”. Aku juga tak bakal menyangka bila ada yang menulis “Istri juragan koi belanja sayur Rp.62 ribu: NGUTANG – 14 Mei 2006”. Atau barangkali ada yang iseng “15 Mei 2006: Bu Djo utang lagi telur 2 kg, daging ayam 2 kg, sampai hari ini total utang Rp.162 ribu. KAPAN BAYAR?????” Ahhh…. Aku buru-buru berhenti berimajinasi, karena aku yakin tulisan mereka jauh lebih asyik dibaca, lebih seru dan pasti lebih menyakitkan.
Setelah lebih dari sebulan berlangsung, aku memutuskan untuk mendatangi para pedagang di pasar. Aku memilih hari Sabtu karena aku libur. Setiap Sabtu pagi aku berkeliling dari lapak ke lapak. Bertanya satu persatu berapa hutang yang harus kulunasi. Sungguh aku tak menyangka kalau sambutan mereka luar biasa. Bayangkan, setiap kali sampai di perempatan pasar itu, puluhan jari-jari tangan diarahkan padaku, entah memastikan apa. Kulihat beberapa ibu saling berbisik lantas menoleh kepadaku dan mengangguk-angguk lalu ada sebagian yang melengos. Ada juga yang tetap memandangiku. Penasaran barangkali. Tak jarang pula telingaku menangkap kata-kata kasar meski sayup-sayup pelan, cemoohan yang menyakitkan.
Aku melihat sisi positifnya saja. Karena dengan menumpang ketenaran istriku, aku tak perlu lagi bertanya satu persatu apakah ia meninggalkan hutang di lapak ini atau lapak itu. Kini para pedagang sayuran bahkan kadang ibu-ibu yang sedang berbelanjapun – entah aku kenal atau tidak – mampu menunjukkan kepada siapa aku harus membayar hutang belanjaan istriku. Begitu tenarnya, bahkan banyak orang hafal apa yang diambil istriku di warung bu Iis, ngutang apa di gerobak mang Asep, ambil bumbu ini itu di lapak Nyak Rodiah dan masih banyak petunjuk berharga lainnya. 

Meski bukan jawara di pentas-pentas sekolah jaman dulu, aku sungguh menikmati peran di panggung sandiwara nyata di pasar ini. Detik demi detik harus kujalani dengan getar hati dan keringat dingin. Malu bukanlah kata tepat untuk dibawa ke tempat ini.Aku tak boleh menyerah di depan para pemain sandiwara kehidupan yang lidahnya seperti samurai tajam yang bisa merobek jantungmu atau bahkan menebas kepalamu, sorot matanya bisa menghancurkan jiwamu, dan gerakan tubuhnya akan meninggalkan bekas luka perih di seluruh tubuh dan hatimu. Aku terus menapaki setiap jengkal tanah pasar ini hingga hutang-hutang yang harus kulunasi tak tersisa lagi untuk minggu itu.
Beberapa Sabtu sudah berlalu. Aku sudah mulai biasa menghadapi tatapan-tatapan mata para ibu yang kadang tak bersahabat dan bahkan satire. Berdiri diantara cibiran-cibiran dan sarkasme tak berkelas semacam itu tak perlu membuatku ciut hati. Misiku hanya satu. Aku datang untuk menolong istriku dari penolakan-penolakan orang-orang pasar ini yang mungkin akan lebih jahat daripada yang kini kurasakan. Aku sungguh tak membayangkan apa yang dihadapi istriku bila aku tak dapat memberesi urusan hutang ini seminggu sekali.
Kadang aku juga menikmati obrolan dengan para pedagang sayur yang kukenal atau ibu-ibu tetangga yang sedang berbelanja yang tak ikut-ikutan menajiskan “kusta jiwa” ini. Biasanya aku sekalian belanja buah atau jajanan pasar yang digemari anak-anakku. Tak lebih dari 30 menit semua urusan beres dan aku berjalan tegak beranjak pulang meninggalkan kerumunan orang-orang pasar yang mungkin masih melanjutkan dialog tentang istriku atau diriku dalam alur yang barangkali lebih dramatis. Biar saja. 

Sepulang dari pasar, tugasku adalah menghapus rekaman-rekaman jahat gambar wajah-wajah orang pasar itu pada 5 hari kedepan ketika berada di rumah, di kantor, atau di perjalanan, sampai benar-benar bersih dan bersiap merekamnya kembali pada Sabtu berikutnya. Rutinitas yang menguras energi tetapi tetap harus kujalani dengan senyum, keikhlasan dan secuil harapan bahwa kelak pasar akan lebih banyak dihuni oleh manusia yang punya hati daripada setan-setan jahat yang hanya mengejar keuntungan dan puas menjadikan penderitaan orang lain sebagai hiburan semata. (Iono Sandjojo)

10 comments:

alin said...

Bapak,
biasanya orang mencari2 keburukan dari orang lain untuk menutupi keburukan dari diri sendiri, dan biasanya memang lebih buruk.
salut dengan ketegaran Bapak dan Keluarga, banyak contoh baik yang bisa saya ambil dari Bapak dan the three musketeers..
terima kasih atas sharingnya.

Niken Aditya said...

Speechless.. Lagi2 kata SALUT yg paling pas buat Bapak! Semua didasari rasa cinta dan ikhlas yang luar biasa besar dan unlimited!! Jangan pernah merasa malu dengan semua "cibiran-cibiran dan sarkasme ga berkelas" pak. Jangan menyerah dan tetap semangat yaaa!!

Unknown said...

Idem mbak Niken,Pa iri itu tanda tak mampu,mungkin mereka iri dengan kemampuan bapa mengatasi masalah selama ini.

Unknown said...

Sayapun menjadi iri.iri atas usaha Bpk untuk menyelamatkan keluarga.Dan saya akan menjadi dengki jika tak mampu memetik pelajaran dari tulisan Bpk.

ranicantik said...

Merinding,Speechless,Sedih bgt...Mungkin ini adalah warna kehidupan yang Tuhan kasih untuk bp....Ini juga merupakan Anugrah hidup serta jalan TUHAN untuk menuju Surganya...Jadikan cemooh2 org yang tidak bertanggung jawab sebagai hiasan hati...Ikhlas menjalani hidup...dan selalu berikan yang terbaik untuk org2 yang kita cintai...Life is beautiful but the heaven of GOD more...life is cruel the but hell of GOD more...SEMANGAT!!!

yulie said...

sharing yg bagus sekali.....memang menyakitkan menghadapi situasi demikian tapi itulah kenyataan yg ada disekitar bpk, ya harus dihadapi dgn jiwa besar terhadap org2 yg berpikiran negatif.
hanya dgn doa dan iman .....semua bisa dilalui dgn mudah....hadapilah dgn senyum......
keluarga adalah segala2nya.....

Iono Sandjojo said...

Yulie@ Terima kasih komentarnya. Saya dan anak-anak saya hampir-hampir tak pernah merasa kecil hati menghadapi semua itu. Semoga, seperti komentar mbak Yulie, jiwa besar akan mengantar kami semua melalui semua itu. Tks

Ranicantik@ Makin cantik hidup saya dan anak-anak, bila semua itu akan menjadi hiasan hati. Thx mbak Ranicantik.

Tori@ Iri ternyata ada yang baik ya mas Tori. Ono-ono wae. Tks

Aldino@ Mudah2an Tuhan makin memampukan saya. Tks p' Dino

Niken@ Banyak sahabat seperti mbak Niken yang makin menyemangati hidup saya dan anak-anak saya. Tks Nik!

Alin@ Tks Lin, sayapun begitu karena saya mencontoh betapa banyak orang yang hidup lebih menderita tapi tetap tulus menjalani tanpa mengeluh. Saya masih beruntung punya three musketeers....

Mira Zuryati said...

Saya sangat banyak mendapatkan pembelajaran dari cerita2 Bapak, bersyukur sekali sudah di share..
kami akan selalu mendo'akan Semoga Bapak dan Anak2 tetap kuat dan berjiwa besar menghadapi segelintir orang yang berpikiran sempit dan berjiwa kerdil seperti kisah diatas, tetap semangat ya Pak..
Salut untuk Bapak dan Keluarga..

Iono Sandjojo said...

@Mira Kita tidak dapat memilih siapa yang ada di sekitar kita dan bagaimana mereka memandang diri kita. Saya dan anak-anakpun pada akhirnya hanya memaklumi bahwa semua itu memang sebuah kenyataan. Tks komentarnya dan salam hangat saya untuk keluarga mbak Mira.

Efa Kusuma said...

Terima kasih Bapak, untuk membuka mata hati saya tentang hitam putihnya dunia, GBU always and your family too