Thursday, May 3, 2012

Tari Dayakan

Asimilasi Seni Tari Magelangan Yang Memikat


Di pelataran sekolah anakku di daerah Mertoyudan, Magelang, sontak saya terkesima oleh kehadiran sekolompok anak-anak remaja yang mengenakan pakaian berwarna-warni, kontras-mencolok, penuh ornament, juga dihiasi dengan tutup kepala dan rias wajah yang sangat menarik. Belum hilang ketakjuban ini, saya makin bingung ketika mendengar nama tarian yang akan mereka bawakan, Dayakan. Sebuah nama yang bagiku menjadi sangat asing ketika semua ini berada di tengah wilayah budaya Jawa, bahkan masih di seputaran pusat budaya Jawa yaitu Jogjakarta dan Surakarta.


Dalam kebingungan itu, mataku terus memperhatikan detil pakaian dan dandanan mereka. Yang terlintas pertama kali ketika melihat apa yang mereka kenakan adalah suku Indian  Amerika dan Reog Ponorogo dari Jawa Timur. Semua penari mengenakan tutup kepala ala “warbonnet berbulu” yang lazim digunakan para kepala suku Indian Amerika. Bedanya, bulu-bulu yang menempel pada “warbonnet magelangan” ini dipulas dengan warna-warni ngejreng, sedangkang para kepala suku Indian memakai bulu yang warna dan coraknya asli, bulu Elang. Lantas kalau langsung ingat Reog Ponorogo karena ornament pakaian, warna-warni dan pernak-perniknya mengingatkan saya pada kesenian para Warok di Jawa Timur itu. 

Apa yang bakal mereka tampilkan dengan dandanan ala Indian-Reog ini?

Penasaranku terjawab ketika seorang dari mereka yang mengenakan tutup kepala bulu-bulu kecoklatan melompak ke tengah arena, berdiri dengan gagahnya. Tangan kanannya, memegang erat tongkat berbentuk ular naga yang mirip Liong dalam tradisi bangsa Cina. Bunyi gemerincing klinthing kuningan kecil-kecil yang menempel di kakinya segera memecah keheningan ketika ia mulai menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Tak lama setelah ia mengawali ritus tariannya, sang Kepala Suku, demikian dapukan atau perannya, lalu berteriak bak kepala suku Indian yang memberi aba-aba peperangan dimulai,”ouw ouw ouw ouw ouw……..!” sambil telapak tangannya memukul-mukul bibirnya yang dicat hitam putih menyeramkan. Para penaripun bergerak dinamis ke arahnya, membentuk barisan di kanan-kirinya, kemudian melingkar, dan kembali membuat barisan dan terus bergerak dan melompat lincah.

Selaras dengan kecerahan warna pakaian dan bulu-bulu yang menempel di topi mereka, iringan gamelan rampak yang terdiri gendang, drum, bende dan organ kian menjadikan gerakan merekapun seperti simbolisasi gairah pemuda mempertahankan jati dirinya di tengah maraknya serbuan budaya maya yang direpresentasikan oleh kesibukan penonton dengan HP-nya masing-masing, seakan-akan tak peduli dengan orang-orang yang ada didekatnya sekalipun, apalagi sekedar tontonan tari "kampung" yang tak bakal menandingi kehebatan feature teknologi yang ada di tangan mereka masing-masing. Meskipun begitu, tarian ini telah berhasil membuat hati penontonnya bergelora ketika para penari yang berjumlah sekitar 20 orang ini memperlihatkan gerakan kaki, tangan dan tubuh yang kompak, cepat dan indah. Meski tidak ada senyum yang keluar dari bibir para penari laki-laki dan perempuan ini selama menari, tarian Dayakan adalah sebuah tarian yang sangat menghibur.

Heru Susanto (50), pimpinan kelompok tari Dayakan yang ternyata adalah group seni SMP St.Yusup Magelang ini, ketika ditanyakan tentang asal muasal tradisi menari Dayakan ini berujar singkat,”Sejak dulu memang sudah ada dan hidup di kawasan Magelang.” Ia sebagai Kepala Sekolah berniat turut nguri-uri tradisi ini, apalagi seni ini kini makin digandrungi masyarakat. Senada dengannya, beberapa orang ibu yang kutemui di dalam angkutan kota Magelang berebut menjelaskan betapa maraknya tari Dayakan itu saat ini. “Pokoknya, dari acara-acara di kampung sampai di tingkat kabupaten, semua nanggap Dayakan!”

Benar saja, ketika saya mencoba menelusuri di internet, ternyata tarian ini sudah berkembang di banyak tempat di sekitar kabupaten Magelang, khususnya di kawasan yang dikenal sebagai tlatah lima gunung, Merapi-Merbabu-Telomoyo-Sumbing-Menoreh. Bahkan sanggar-sanggar tari mudah sekali didapatkan untuk memberikan tontonan seni budaya Dayakan atau Topeng Ireng.

Seni tari ini memang dikenal juga sebagai tari Topeng Ireng. Konon, sudah dikenal di pedesaan-pedesaan di wilayah lima gunung tersebut sejak jaman dahulu. Selain itu, ada beberapa jenis seni tari yang juga berkembang di kawasan-kawasan gunung yaitu Kobra Siswa dan Grasakan. Semua itu adalah seni budaya yang lahir, berkembang dan kini sangat dibanggakan oleh oleh masyarakat Magelang.

Saya, sebagai penonton yang baru sekali seumur hidup saya melihatnya, masih tercengang dengan penampilan pakaian para penari Dayakan atau Topeng Ireng ini. Sebuah hasil asimilasi seni tari yang sangat eksotik dan sukses melahirkan euforia seni budaya bagi masyarakat Magelang saat ini. Tak peduli asal muasal seni budaya yang dipinang dalam tarian ini, saya hanya bisa berdecak kagum, bersyukur bisa menikmatinya, dan berharap kelak Dayakan akan menjadi respresentasi budaya Magelang yang luhur dan dikenal oleh dunia. (Iono Sandjojo)



Catatan: sayang sekali, ketika menyaksikan kesenian ini, saya hanya dapat mengabadikan dengan kamera handphone saya yang sudah jadul sehingga tidak dapat mengeksplore secara maksimal. Peralatan kamera yang biasa saya tenteng kemana-mana kebetulan tidak saya bawa karena badan sedang sengkleh semua sepulang dari Banjarmasin, yang salah reportasenya sudah saya tulis di blog ini juga. Berikut adalah foto-foto hasil jepretan kamera HP itu.

"Kepala Suku". Perhatikan ular naga "liong" berpadu dengan pernik-pernik busana tari yang mungkin mengingatkan anda pada kesenian reog-jawa timur dan barong-bali.



Para penari yang mengenakan "Warbonnet Magelangan". 































Klinthing atau lonceng kuningan kecil-kecil yang menempel pada bagian kaki menjadi ciri khas yang makin menyemarakkan tari Dayakan.
Dayakan atau Topeng Ireng telah sukses hadir kembali dalam bentuknya yang makin diminati anak-anak muda dan masyarakat Magelang dan sekitarnya. Meski jarang yang tahu asal-asulnya dan tak mengerti maknanya, tarian ini adalah sebuah media hiburan rakyat yang murah dan bernilai.

 Hiruk pikuk tari Dayakan atau Topeng Ireng. Luar biasa!























5 comments:

Angel said...

Hebat benar Negri ini, kekayaan budaya nya tidak ada habisnya. Benar" dibuat terpesona....

Anonymous said...

Wow....saya juga baru tau ada Dayakan. Dilihat namanya, kok seperti suku Dayak di Kalimantan ya? Apa ada hubungannya dengan dayak disana? Tapi dilihat dari pakaiannya sama sekali beda dengan kebudayaan dayak. Yah, yang penting tetep negeri Indonesia. Waspadalah...waspadalah...bisa-bisa tarian ini tau-tau sudah dipromosikan sebagai kebudayaan dari negeri sebelah lho. Hayo negeri apa anak-anak yang ngaku-ngaku kalau reog itu berasal dari sana? Hidup Dayakan! Hidup Indonesia!

Iono Sandjojo said...

Angel@ beginilah negeri kita....!
Anonymous@ Warga yang saya temui juga menyebut istilah Dayakan berasalah dari Dayak yang ada di pulau Kalimantan. Tetapi saya sengaja tak menanggapi asal-usul kata yang mereka informasikan karena jauh lebih menarik substansi seninya daripada proses penamaannya.

Unknown said...

ijin share ya omm

(inside alamatnya kok)

:)

Iono Sandjojo said...

Dengan senang hati "adek cengenk".... Tks ya..!