Monday, December 31, 2012

Pasung Parigi

Antara Sakit Jiwa, Kemiskinan dan Ketidakberdayaan


Sambil menenteng sapu lidi yang baru saja dipakai untuk membersihkan kotoran ayam yang berceceran di dekat rongsokan mobil di halaman rumahnya, Rokayah (52), ibunda Toni (31), memberi isyarat agar anak lelakinya yang sedang telanjang untuk segera memakai sarung ketika melihat saya memasuki pekarangan rumahnya. Meski kelihatan kerepotan karena tangan kanan  dan kedua kaki Toni dipasung dengan rantai besi yang ditambatkan pada sepotong besi bekas rel kereta, ia tetap berusaha melilitkan sarung berwarna hijau kotak-kotak itu hingga menutupi auratnya.

Sarung yang lebih tepat disebut kain karena sudah dipotong hingga menjadi satu lembaran, adalah satu-satunya penutup badan yang dapat ia kenakan. Dengan belenggu rantai-rantai besi yang sudah mulai berkarat itu, ia tak dapat lagi menggunakan baju ataupun t-shirt pada siang hari dan malam-malamnya yang dingin. Bahkan ketika tidur di balai kayu selebar 80 centimeter yang berpelindung atap seng dan asbes bekas serta dinding dari papan-papan kayu dan terpal yang sudah sobek disana sini.

Toni yang bernama lengkap Ahmad Fatoni adalah anak ke-2 dari 6 bersaudara pasangan Komar-Rokayah, tinggal di bedeng beralaskan tanah yang terletak antara dapur rumahnya dan kolam ikan. Di belakang bedeng terbentang sawah-sawah warga yang kala itu selesai ditanami padi, air masih tergenang di hamparan petak-petak sawah yang meniupkan kesegaran ke bedeng Toni.

Di kampungnya, Cipeucang RT 02 RW 02 Desa Parigi, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten inilah Toni lahir dan dibesarkan, sekaligus ia kini harus menghabiskan waktunya untuk menjalani hidupnya dalam pasung ketidakberdayaan dan kemiskinan sejak lebih dari 10 tahun yang lalu.
 

***
Kemiskinan memang sudah menjerat keluarga Rokayah sejak mulai berkeluarga beberapa puluh tahun lalu hingga sekarang. Suaminya, Komar (58), hanyalah seorang sopir harian di sebuah toko material dengan penghasilan Rp.20.000,00 per hari. Bila sedang banyak antaran, terkadang ia bisa mendapatkan uang tip sampai Rp.40.000,00 yang ia kumpulkan dari para pembeli setelah ia menurunkan semua material di tempat tujuan, meski belum tentu sebulan sekali dia dapatkan.

Kesulitan ini tak menyebabkan Rokayah dan keluarganya harus mengeluh. “Dengan uang segitu saya mampu membeli beras dua liter dan keperluan dapur seperlunya,” tuturnya pelan. Selama ada nasi dan garam, suami dan juga kedua anaknya yang masih tinggal serumah masih mensyukurinya. Kemiskinan ini pula yang menyebabkan Rokayah sekeluarga hanya pasrah menerima nasib Toni yang semula diharapkan bisa lebih sukses dari orang tuanya.

Tiba-tiba suaranya tersekat ketika Rokayah mulai menceritakan kisah anak lelakinya ketika lulus sekolah teknik menengah (STM). Ia lupa tahun berapa anaknya ini lulus.

Ketika masih menjalani pendidikannya di sebuah STM di Serang, ia adalah anak yang rajin dan baik. Ini terbukti selama Toni hidup terpisah dari orang tuanya dan tinggal di kota yang terletak 42 kilometer dari rumahnya, tak pernah terjadi hal-hal yang membuat kedua orang tuanya khawatir. Hanya saja sejak kelulusannya, Toni sering murung dan menarik diri dari pergaulan. Perilakunya berubah total. Toni, yang semula penurut tiba-tiba sering melawan bahkan marah-marah kepada semua anggota keluarga. Ia mudah tersinggung dan sering meluapkan amarahnya hanya karena minta rokok dan tak dituruti lantas memecah piring atau gelas, merusak kursi, meja, almari dan perabot lain yang ada di rumahnya.  Sikap dan kelakuannya bukan seperti Toni yang ia kenal sejak lahir hingga menjadi pemuda gagah.

Ketika hari demi hari suasana rumah makin mencekam, Rokayahpun tak dapat mencegah ketika suaminya memutuskan untuk membalakbag (memasung)  Toni agar tidak makin menimbulkan kerusakan dan kekacauan yang lebih besar. Kala itu, sebagai seorang ibu, hati Rokayah sangat pedih ketika menyaksikan kedua kaki dan tangan kanan anak lelakinya itu mulai dirantai lalu ditambatkan pada sebatang besi bekas rel kereta api yang diletakkan di emperan samping rumahnya. Sebagian batang besi ini menggantung di atas kolam ikan, mungkin untuk dudukan ketika Toni harus buang kotoran ke kolam.

Pada malam-malam pertama entah sampai berapa bulan kemudian, suara rintihan Toni yang meratapi nasibnya membuat hati Rokayah makin tersayat-sayat. Tapi ia tak dapat berbuat apapun kecuali pasrah dan menurut kemauan suaminya. Rokayahpun harus merelakan anaknya yang berbadan tegap ini akhirnya harus hidup dipasung, makan, minum, mandi dan buang kotoran di tempat yang sama hingga hari ini.

Satu-satunya yang dapat ia berikan kepada putranya hingga kini adalah merawatnya dengan penuh kasih sayang, memberinya makan dan minum setiap hari, memandikan dan menunggui serta mengobati bila Toni mengalami sakit flu, batuk, atau masuk angin. “Alhamdulilah, Toni tidak pernah sakit berat. Mungkin karena makannya banyak. Bisa 5 kali sehari,” katanya berkaca-kaca menahan kesedihan.

Ia sedih karena sesungguhnya Toni tidak terima dirinya dipasung. Toni selalu protes dan berteriak marah terutama bila ayahnya berada di dekat Toni karena ia tahu dialah yang melakukan pemasungan ini. Herannya, terhadap ibunya Toni selalu bersikap baik dan menurut. “Mungkin dia takut tidak saya beri makan ya?” katanya datar dengan senyum tipis tertahan. Ditengah kelelahannya, rupanya Rokayah sungguh tegar hingga dapat menghibur dirinya dengan mentertawakan kepedihan yang dialaminya.

Kelelahan memang tampak dari bagaimana dia menuturkan kisah anak dan keluarganya. Tapi ia kelihatan puas dengan apa yang dialaminya. Bahkan sejenak Rokayah tampak bangga ketika saya katakan bahwa ia sungguh pandai merawat anaknya.

Terbukti badan Toni kelihatan bugar dan kulitnyapun tidak mengalami gangguan penyakit kulit atau luka-luka. “Masak iya?” katanya pendek menahan senyum. Tangan kiri Rokayah memegang kipas dan tangan kanannya mengaduk-aduk nasi yang baru diangkatnya dari kukusan. “Padahal saya hanya mengolesi pergelangan kaki dan tangannya dengan sabun colek biar licin. Mandi juga cuma seminggu sekali itupun kalau Toni mau.”

Di dapurnya yang berlantai tanah dan dipenuhi jelaga hitam di semua sisi dinding hingga ke atapnya, Rokayah menghabiskan hari-harinya untuk memasak nasi dan sayur ala kadarnya. Ia sendiri hampir tak pernah meninggalkan rumahnya demi menjaga anaknya. Di dapur yang hanya terpisahkan oleh tembok bata dengan tempat dimana Toni dipasung inilah seringkali ia duduk menangis dan mendengarkan keluh kesah anaknya meski ia tak dapat memahami apa yang dikatakan Toni.  

Dalam beberapa tahun terakhir ini Toni memang makin sulit diajak komunikasi. Apalagi sejak Toni mengalami tuli di kedua telinganya. Kalaupun Toni bicara terus sepanjang hari, dia seperti bicara dengan dirinya sendiri. “Yang saya tahu hanyalah ketika ia minta rokok,” kata Rokayah mengusap matanya yang berkaca-kaca.

Pada awalnya rokok selalu membuatnya kebingungan karena tak ada uang dan mabuk (dalam bahasa setempat yang dimaksud adalah mengamuk) bila permintaan itu tak dipenuhi. Beruntung para tetangganya memperlihatkan solidaritas nyata kepadanya. Untuk keperluan Toni, apapun yang dimintanya terutama rokok, Rokayah boleh mengambil di warung tetangga dan bayarnya kapanpun ketika ia punya uang. “Mereka juga tak merasa terganggu meski kadang anak saya berteriak-teriak di tengah malam.”

***

Pada awal pemasungan, pernah ada petugas kesehatan datang menengok, tetapi seingatnya tidak ada tindakan apapun. Iapun sudah melupakan semua itu karena sampai sekarang memang petugas itu tidak pernah kembali setelah lebih dari 10 tahun berlalu. Jenis penyakit yang diderita anaknyapun sama sekali tidak ia ketahui. Ia dan suaminya tidak paham penyakit ini.

Kasan (44), tetangga desanya, juga menyatakan ketidaktahuannya apa yang sebenarnya dialami oleh Toni. Orang-orang desa pada umumnya beranggapan bahwa ini bukan penyakit tetapi karena gangguan mistis. Tak heran sebagian besar masyarakat desa lebih menyarankan untuk membawa Toni ke dukun dan “orang pintar”. Itu semua sudah sering dilakukan Komar, tetapi tanpa hasil apapun.

Suaminya kemudian juga pernah membawa Toni berobat ke Rumah Sakit Jiwa Grogol yang berjarak sekitar 130 kilometer dari Parigi. Setelah diperiksa disana, Toni langsung diajak pulang ke rumah. “Saya tidak tahu kenapa.Yang saya tahu, waktu itu anak saya langsung dibawa pulang. Tidak dirawat di rumah sakit!” kata Rokayah singkat. Ia kelihatan enggan menceritakan lebih jauh apa yang sesungguhnya terjadi waktu itu. Rokayah menarik nafas panjang kemudian duduk diam. Tangannya sibuk membersihkan tompo – tempat nasi yang dibuat dari anyaman bambu.

Sampai hari ini belum ada lagi petugas kesehatan ataupun pegawai pemerintah yang datang mengunjungi Toni lagi. Ironis dengan apa yang dicanangkan pemerintah pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun 2010 lalu, ketika mengajak masyarakat menuju Indonesia Bebas Pasung. Ajakan ini mestinya bermakna perintah sekaligus amanah bagi seluruh jajaran kesehatan di Indonesia di semua tingkat pemerintahan hingga ke Puskesmas untuk menyelamatkan orang-orang sakit jiwa yang dipasung.

Dari sisi lokasi, rumah pasangan Rokayah dan Komar ini letaknya hanya 50 meter dari jalan raya Serang – Labuan dan berjarak sekitar tiga kilometer dari Puskesmas Kecamatan Saketi. “Mungkin perintahnya tidak sampai ke situ. Maklumlah, aparat pemerintah kan hanya bekerja atas dasar perintah, bukan atas kehendaknya sendiri,” komentar Cahyono (39), seorang staff sebuah lembaga Internasional di Jakarta ketika mendengar cerita ini.

Rokayah dan Komar memang tak dapat membayangkan apakah Toni kelak dapat dilepas dari pasungnya. Iapun tidak tahu ada program bebas pasung yang dicanangkan pemerintah tersebut. Jaminan kesehatan yang disediakan pemerintah daerah atau Jamkesda-pun sama sekali tidak ia pahami dan tak pernah dia rasakan manfaatnya.

Ia bukan tak mau berandai-andai tentang kesembuhan Toni, tetapi memenuhi semua kebutuhan makan sehari-hari saja sungguh harus dilakukan dengan perjuangan yang sangat berat, apalagi untuk memikirkan sesuatu yang sama sekali tidak mereka ketahui tentang jenis penyakit dan pengobatan yang mungkin diperlukan Toni. “Saya hanya pasrah kepada Allah,” ungkap Rokayah yang rajin mendoakan Toni dalam sholat-nya. (Iono Sandjojo Tulisan Pertama dari Serial NUSANTARA TERPASUNG)

6 comments:

Theresia Wulandari said...

Miriiiss...sangat menyentuh... Saya yakin dgn bantuan pengobatan anak itu akan sembuh. Pliiisss help them bpk pemda terkait....

Joko Winarno said...

memprihatinkan ya..dijaman modern dan daerahnya dekat ibukota kok masih ditemukan kejadian semacam itu...dibutuhkan kesadaran untuk menyikapi kejadian tsb

Aryanto Mulyono said...

Pasung, memang menjadi "terapi" yang dianggap manjur untuk "mengobati" penyandang sakit jiwa... Padahal TIDAK.. "mengobati" yang dimaksud termasuk; memudahkan keluarga menangani pasien, menutup "malu" keluarga dan ini sebenarnya makin memperparah penyakit si penderita... begitu kata narsum di sebuah seminar...

ayoe said...

sangat menyentuh...ternyata sudah abad sekian, masih ada yach pemasungan....

Indra said...

Maaf OOT, saya sudah follow blog-nya ya... Silahkan follow saya kembali.

Obat Darah Tinggi Alami said...

dulu di tempat saya juga ada sob...