Antara Sakit Jiwa, Kemiskinan dan Ketidakberdayaan
Sambil menenteng sapu lidi yang baru saja dipakai untuk membersihkan kotoran ayam yang berceceran di dekat rongsokan mobil di halaman rumahnya, Rokayah (52), ibunda Toni (31), memberi isyarat agar anak lelakinya yang sedang telanjang untuk segera memakai sarung ketika melihat saya memasuki pekarangan rumahnya. Meski kelihatan kerepotan karena tangan kanan dan kedua kaki Toni dipasung dengan rantai besi yang ditambatkan pada sepotong besi bekas rel kereta, ia tetap berusaha melilitkan sarung berwarna hijau kotak-kotak itu hingga menutupi auratnya.
Sarung yang lebih tepat disebut kain karena sudah dipotong
hingga menjadi satu lembaran, adalah satu-satunya penutup badan yang dapat ia
kenakan. Dengan belenggu rantai-rantai besi yang sudah mulai berkarat itu, ia
tak dapat lagi menggunakan baju ataupun t-shirt pada siang hari dan
malam-malamnya yang dingin. Bahkan ketika tidur di balai kayu selebar 80
centimeter yang berpelindung atap seng dan asbes bekas serta dinding dari papan-papan kayu
dan terpal yang sudah sobek disana sini.
Toni yang bernama lengkap Ahmad Fatoni adalah anak ke-2 dari 6 bersaudara pasangan Komar-Rokayah, tinggal di bedeng beralaskan tanah yang terletak antara dapur rumahnya dan
kolam ikan. Di belakang bedeng terbentang sawah-sawah warga yang kala itu
selesai ditanami padi, air masih tergenang di hamparan petak-petak sawah yang
meniupkan kesegaran ke bedeng Toni.
***
Kemiskinan memang sudah menjerat keluarga Rokayah sejak mulai
berkeluarga beberapa puluh tahun lalu hingga sekarang. Suaminya, Komar (58),
hanyalah seorang sopir harian di sebuah toko material dengan penghasilan
Rp.20.000,00 per hari. Bila sedang banyak antaran, terkadang ia bisa
mendapatkan uang tip sampai Rp.40.000,00 yang ia kumpulkan dari para pembeli
setelah ia menurunkan semua material di tempat tujuan, meski belum tentu
sebulan sekali dia dapatkan.
Kesulitan ini tak menyebabkan Rokayah dan keluarganya harus
mengeluh. “Dengan uang segitu saya mampu membeli beras dua liter dan keperluan
dapur seperlunya,” tuturnya pelan. Selama ada nasi dan garam, suami dan juga
kedua anaknya yang masih tinggal serumah masih mensyukurinya. Kemiskinan ini
pula yang menyebabkan Rokayah sekeluarga hanya pasrah menerima nasib Toni yang
semula diharapkan bisa lebih sukses dari orang tuanya.
Tiba-tiba suaranya tersekat ketika Rokayah mulai
menceritakan kisah anak lelakinya ketika lulus sekolah teknik menengah (STM).
Ia lupa tahun berapa anaknya ini lulus.
Ketika masih menjalani pendidikannya di sebuah STM di Serang,
ia adalah anak yang rajin dan baik. Ini terbukti selama Toni hidup terpisah
dari orang tuanya dan tinggal di kota yang terletak 42 kilometer dari rumahnya,
tak pernah terjadi hal-hal yang membuat kedua orang tuanya khawatir. Hanya saja
sejak kelulusannya, Toni sering murung dan menarik diri dari pergaulan.
Perilakunya berubah total. Toni, yang semula penurut tiba-tiba sering melawan
bahkan marah-marah kepada semua anggota keluarga. Ia mudah tersinggung dan
sering meluapkan amarahnya hanya karena minta rokok dan tak dituruti lantas memecah
piring atau gelas, merusak kursi, meja, almari dan perabot lain yang ada di
rumahnya. Sikap dan kelakuannya bukan
seperti Toni yang ia kenal sejak lahir hingga menjadi pemuda gagah.
Ketika hari demi hari suasana rumah makin mencekam, Rokayahpun
tak dapat mencegah ketika suaminya memutuskan untuk membalakbag (memasung) Toni
agar tidak makin menimbulkan kerusakan dan kekacauan yang lebih besar. Kala
itu, sebagai seorang ibu, hati Rokayah sangat pedih ketika menyaksikan kedua
kaki dan tangan kanan anak lelakinya itu mulai dirantai lalu ditambatkan pada
sebatang besi bekas rel kereta api yang diletakkan di emperan samping rumahnya.
Sebagian batang besi ini menggantung di atas kolam ikan, mungkin untuk dudukan ketika
Toni harus buang kotoran ke kolam.
Pada malam-malam pertama entah sampai berapa bulan kemudian,
suara rintihan Toni yang meratapi nasibnya membuat hati Rokayah makin tersayat-sayat.
Tapi ia tak dapat berbuat apapun kecuali pasrah dan menurut kemauan suaminya.
Rokayahpun harus merelakan anaknya yang berbadan tegap ini akhirnya harus hidup
dipasung, makan, minum, mandi dan buang kotoran di tempat yang sama hingga hari
ini.
Satu-satunya yang dapat ia berikan kepada putranya hingga
kini adalah merawatnya dengan penuh kasih sayang, memberinya makan dan minum
setiap hari, memandikan dan menunggui serta mengobati bila Toni mengalami sakit
flu, batuk, atau masuk angin. “Alhamdulilah, Toni tidak pernah sakit berat. Mungkin
karena makannya banyak. Bisa 5 kali sehari,” katanya berkaca-kaca menahan
kesedihan.
Ia sedih karena sesungguhnya Toni tidak terima dirinya
dipasung. Toni selalu protes dan berteriak marah terutama bila ayahnya berada
di dekat Toni karena ia tahu dialah yang melakukan pemasungan ini. Herannya, terhadap
ibunya Toni selalu bersikap baik dan menurut. “Mungkin dia takut tidak saya
beri makan ya?” katanya datar dengan senyum tipis tertahan. Ditengah kelelahannya,
rupanya Rokayah sungguh tegar hingga dapat menghibur dirinya dengan mentertawakan
kepedihan yang dialaminya.
Kelelahan memang tampak dari bagaimana dia menuturkan kisah
anak dan keluarganya. Tapi ia kelihatan puas dengan apa yang dialaminya. Bahkan
sejenak Rokayah tampak bangga ketika saya katakan bahwa ia sungguh pandai
merawat anaknya.
Terbukti badan Toni kelihatan bugar dan kulitnyapun tidak
mengalami gangguan penyakit kulit atau luka-luka. “Masak iya?” katanya pendek
menahan senyum. Tangan kiri Rokayah memegang kipas dan tangan kanannya
mengaduk-aduk nasi yang baru diangkatnya dari kukusan. “Padahal saya hanya
mengolesi pergelangan kaki dan tangannya dengan sabun colek biar licin. Mandi
juga cuma seminggu sekali itupun kalau Toni mau.”
Di dapurnya yang berlantai tanah dan dipenuhi jelaga hitam di
semua sisi dinding hingga ke atapnya, Rokayah menghabiskan hari-harinya untuk
memasak nasi dan sayur ala kadarnya. Ia sendiri hampir tak pernah meninggalkan
rumahnya demi menjaga anaknya. Di dapur yang hanya terpisahkan oleh tembok bata
dengan tempat dimana Toni dipasung inilah seringkali ia duduk menangis dan mendengarkan
keluh kesah anaknya meski ia tak dapat memahami apa yang dikatakan Toni.
Dalam beberapa tahun terakhir ini Toni memang makin sulit
diajak komunikasi. Apalagi sejak Toni mengalami tuli di kedua telinganya. Kalaupun
Toni bicara terus sepanjang hari, dia seperti bicara dengan dirinya sendiri.
“Yang saya tahu hanyalah ketika ia minta rokok,” kata Rokayah mengusap matanya
yang berkaca-kaca.
Pada awalnya rokok selalu membuatnya kebingungan karena tak
ada uang dan mabuk (dalam bahasa
setempat yang dimaksud adalah mengamuk) bila permintaan itu tak dipenuhi.
Beruntung para tetangganya memperlihatkan solidaritas nyata kepadanya. Untuk
keperluan Toni, apapun yang dimintanya terutama rokok, Rokayah boleh mengambil
di warung tetangga dan bayarnya kapanpun ketika ia punya uang. “Mereka juga tak
merasa terganggu meski kadang anak saya berteriak-teriak di tengah malam.”
***
Pada awal pemasungan, pernah ada petugas kesehatan datang
menengok, tetapi seingatnya tidak ada tindakan apapun. Iapun sudah melupakan
semua itu karena sampai sekarang memang petugas itu tidak pernah kembali
setelah lebih dari 10 tahun berlalu. Jenis penyakit yang diderita anaknyapun sama
sekali tidak ia ketahui. Ia dan suaminya tidak paham penyakit ini.
Kasan (44), tetangga desanya, juga menyatakan
ketidaktahuannya apa yang sebenarnya dialami oleh Toni. Orang-orang desa pada
umumnya beranggapan bahwa ini bukan penyakit tetapi karena gangguan mistis. Tak
heran sebagian besar masyarakat desa lebih menyarankan untuk membawa Toni ke
dukun dan “orang pintar”. Itu semua sudah sering dilakukan Komar, tetapi tanpa
hasil apapun.
Suaminya kemudian juga pernah membawa Toni berobat ke Rumah
Sakit Jiwa Grogol yang berjarak sekitar 130 kilometer dari Parigi. Setelah
diperiksa disana, Toni langsung diajak pulang ke rumah. “Saya tidak tahu
kenapa.Yang saya tahu, waktu itu anak saya langsung dibawa pulang. Tidak
dirawat di rumah sakit!” kata Rokayah singkat. Ia kelihatan enggan menceritakan
lebih jauh apa yang sesungguhnya terjadi waktu itu. Rokayah menarik nafas
panjang kemudian duduk diam. Tangannya sibuk membersihkan tompo – tempat nasi yang dibuat dari anyaman bambu.
Sampai hari ini belum ada lagi petugas kesehatan ataupun
pegawai pemerintah yang datang mengunjungi Toni lagi. Ironis dengan apa yang
dicanangkan pemerintah pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun 2010 lalu, ketika
mengajak masyarakat menuju Indonesia Bebas Pasung. Ajakan ini mestinya bermakna
perintah sekaligus amanah bagi seluruh jajaran kesehatan di Indonesia di semua
tingkat pemerintahan hingga ke Puskesmas untuk menyelamatkan orang-orang sakit
jiwa yang dipasung.
Dari sisi lokasi, rumah pasangan Rokayah dan Komar ini
letaknya hanya 50 meter dari jalan raya Serang – Labuan dan berjarak sekitar
tiga kilometer dari Puskesmas Kecamatan Saketi. “Mungkin perintahnya tidak
sampai ke situ. Maklumlah, aparat pemerintah kan hanya bekerja atas dasar
perintah, bukan atas kehendaknya sendiri,” komentar Cahyono (39), seorang staff
sebuah lembaga Internasional di Jakarta ketika mendengar cerita ini.
Rokayah dan Komar memang tak dapat membayangkan apakah Toni
kelak dapat dilepas dari pasungnya. Iapun tidak tahu ada program bebas pasung
yang dicanangkan pemerintah tersebut. Jaminan kesehatan yang disediakan
pemerintah daerah atau Jamkesda-pun sama sekali tidak ia pahami dan tak pernah
dia rasakan manfaatnya.
Ia bukan tak mau berandai-andai tentang kesembuhan Toni,
tetapi memenuhi semua kebutuhan makan sehari-hari saja sungguh harus dilakukan
dengan perjuangan yang sangat berat, apalagi untuk memikirkan sesuatu yang sama
sekali tidak mereka ketahui tentang jenis penyakit dan pengobatan yang mungkin
diperlukan Toni. “Saya hanya pasrah kepada Allah,” ungkap Rokayah yang rajin mendoakan
Toni dalam sholat-nya. (Iono Sandjojo. Tulisan Pertama dari Serial NUSANTARA TERPASUNG)
6 comments:
Miriiiss...sangat menyentuh... Saya yakin dgn bantuan pengobatan anak itu akan sembuh. Pliiisss help them bpk pemda terkait....
memprihatinkan ya..dijaman modern dan daerahnya dekat ibukota kok masih ditemukan kejadian semacam itu...dibutuhkan kesadaran untuk menyikapi kejadian tsb
Pasung, memang menjadi "terapi" yang dianggap manjur untuk "mengobati" penyandang sakit jiwa... Padahal TIDAK.. "mengobati" yang dimaksud termasuk; memudahkan keluarga menangani pasien, menutup "malu" keluarga dan ini sebenarnya makin memperparah penyakit si penderita... begitu kata narsum di sebuah seminar...
sangat menyentuh...ternyata sudah abad sekian, masih ada yach pemasungan....
Maaf OOT, saya sudah follow blog-nya ya... Silahkan follow saya kembali.
dulu di tempat saya juga ada sob...
Post a Comment