Tuesday, September 4, 2012

Candi Cetho

Dibangun pada masa pemerintahan Majapahit di abad 15, candi Cetho yang bercorak Hindu hingga kini masih berperan dalam upacara-upacara pemujaan, bukan hanya umat Hindu tetapi berbagai aliran kepercayaan yang meyakini bahwa candi ini adalah tempat melakukan upacara ruwatan atau tempat untuk membebaskan dari kutukan.


Sejak ditemukan pertama kali oleh Van de Vilis pada 1942 dan kemudian dilanjutkan oleh penelitian A.J. Bernet Kempers bersama W.F. Stuterheim dan K.C. Crucg, reruntuhan candi ini mulai menarik perhatian. Pada tahun 1975/1976, bersamaan dengan penelitian Riboet Darmosoetopo, seorang penasehat spiritual mantan presiden Soeharto waktu itu Jendral Sudjono Humardani melakukan pemugaran. Meski menurut para ahli purbakala tidak berdasarkan ketentuan pemugaran cagar budaya yang benar, tetapi hasil pemugaran inilah yang kini dapat dinikmati oleh para wisatawan.

Pada musim mudik lebaran tahun 2012 ini, saya bersama anak-anak dan tiga keponakan, mengunjungi candi Cetho yang terletak di lereng barat gunung Lawu ini, setelah terlebih dahulu menyinggahi GM Sendang Pawitra Sinar Surya di Tawangmangu. Sekitar jam 1 siang, setelah terlebih dahulu menikmati sate landak dan sate kalong di desa Sepanjang, saya mulai menelusuri jalan-jalan menanjak dan berliku menuju kawasan kebun teh di kawasan Kemuning, Ngargoyoso dan Jenawi. Sempat beberapa kali harus menggunakan gigi satu karena tanjakan dan tikungan yang sangat tajam, anak-anakpun sedikit takut untuk memandang bentangan kebun teh di jurang-jurang yang sangat dalam dan membentang jauh.

Saya sempat terperangah ketika melihat beberapa pesepeda dengan penuh semangat mampu menggowes sepeda mereka di medan ekstrim seperti itu. Saya berpikir mungkin mereka adalah para penggowes professional yang sedang berlatih. Nyatanya, dari cerita para penggowes dari kota Sala tersebut, mereka adalah para amatir yang memang senang menjajal medan-medan berat di ketinggian 1400 di atas permukaan laut ini.

Candi sebagai Simbol Gunung Kosmis

Candi, dalam konsep kosmologi adalah symbol gunung kosmis yang berada dalam gambaran antara langit dan bumi. Mendaki candi sama dengan melakukan perjalanan ke pusat dunia. Stairway to Heaven, begitu judul lagu Led Zeppelin, meski berbeda substansi tetapi ini adalah gambaran tentang tangga menuju surga.

Tata letak bangunan candi cetho menggambarkan symbol pendakian gunung dalam mencapai kesucian jiwa untuk bersatu dengan dewata. Dalam pengertian Hindu, melambangkan pensucian diri dari mala, yang biasa dilakukan dalam upacara diksa dalam rangka mencari kelepasan jiwa, untuk merenungkan hakekat hidup sebelum mencapai tingkatan selanjutnya.

Inilah yang mungkin mendasari pemugaran candi yang bercorak Hindu ini seperti layaknya membangun komplek Pura Hindu. Dan inilah kesan pertama ketika sampai di ujung jalan masuk kawasan wisata di dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi,  Kabupaten Karanganyar ini, saya seperti bukan memasuki kompleks candi tetapi justru pura Hindu. Arsitektur pura sangat kental terlihat, dimulai dengan candi bentar sebagai gerbang utama, gapura-gapura di setiap terasnya, bangunan-bangunan lain seperti Wantilan yang beratap susun dan bale-bale lain sebagai bangunan penyempurna Pura.  

Gerbang masuk komplek candi Cetho. Model bangunan seperti ini dikenal sebagai candi bentar. Candi bentar mempunyai makna religius, sehingga hanya dibangun di kompleks pura, menjadi pembatas antara nista mandala dan madya mandala. Keberadaan candi bentar sebagai gapura masuk komplek candi Cetho ini menyiratkan makna peralihan dari  zona yang bersifat profan ke zona religius.

Kompleks candi Cetho menghadap kearah matahari terbit. Ini berbeda dengan tipologi bangunan suci pura yang pada umumnya menghadap ke barat atau ketika memasuki Pura menuju ke arah timur. 

Kompleks bangunan candi Cetho memiliki ukuran panjang 190 meter dan lebar 30 meter dan berada di ketinggian 1496 di atas permukaan laut. Meski di papan informasi dan dalam catatan penelitian disebutkan bahwa pola halamannya berteras dengan susunan 13 teras meninggi ke arah puncak, tetapi di mata saya sebagai pengunjung awam hanya ada 9 teras. Konon, bentuk bangunan berteras seperti ini mirip dengan bantuk punden berundak masa prasejarah. 

Teras-teras yang ada di komplek cadi Cetho ini selain karena konturnya, mungkin juga terinspirasi oleh konsep bangunan pemujaan tradisi megalitikum yang berbentuk persegi empat dan tersusun bertingkat-tingkat atau dikenal sebagai punden berundak.

Di teras pertama dan teras kedua tidak ditemukan sisa bangunan apapun. Di teras ke-3 terdapat sebuah bangunan persegi empat yang dianggap sebagai petilasan ki Ageng Krincingwesi, salah seorang leluhur masyarakat desa Cetho.

Seperti yang terpampang di papan informasi di depan komplek candi, pada dinding gapura di teras ke-7 (tetapi dalam hitungan saya adalah teras ke-3) terdapat prasasti dengan huruf jawa kuno berbunyi “Peling padamel irikang buku tirtasunya hawalita ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397”, yang dapat ditafsirkan peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat untuk membebaskan diri dari kutukan, didirikan tahun 1397 Saka (1475 M).

Pada halaman teras ke-4 terdapat susunan batu yang menggambarkan bentuk phallus (alat kelamin pria) dan vagina (alat kelamin wanita) yang ditafsirkan sebagai lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan. Juga terdapat batu berbentuk kura-kura yang menyangga gunung, seperti dalam kisah Pemutaran Gunung Mandara dalam kisah Adiparwa.

Batu berbentuk Phallus (penis) sepanjang ± 2 meter dengan hiasan tindik di ujungnya.

Di teras ini juga terdapat susunan batu yang berisi sengkalan memet (angka tahun yang digambarkan dengan bentuk binatang, tumbuhan dsb) berupa 3 ekor katak, mimi atau lebih dikenal sebagai Belangkas, ketam, seekor belut dan 3 ekor kadal. Menurut Bernet Kempers, arca ketam, belut dan mimi merupakan sengkalan yang berbunyi welut (3) wiku (7) anahut (3) iku = mimi (1), sehingga ditemukan angka tahun 1373 Saka atau 1451 M. 

Di kiri tampak kepala Kura-kura yang merupakan penjelmaan Dewa Wisnu yang menyangga gunung Mandara. Susunan batu berbentuk segitiga sama sisi di depannya berisi batu-batu yang menampilkan binatang-binatang yang menunjuk angka tahun 1373 Saka.


Sumber Inspirasi Tempat Ruwatan

Pada halaman teras ke-5 terdapat susunan batu di atas gundukan tanah berbentuk bujur sangkar. Pada batu-batu yang disusun tegak itu terdapat relief-relief yang konon katanya memuat cuplikan kisah Sudhamala. Kisah tentang pembebasan Dewi Uma yang dibelenggu makhluk jahat bernama Ra Nini. Karena kejahatan dan kengerian yang ditimbulkan oleh Ra Nini, maka Sahadewa dengan bantuan Batara Guru dapat meruwat Ra Nini sehingga kembali menjadi wujudnya yang semula, Dewi Uma.

Selain kisah Sudhamala, di papan informasi candi Cetho, tertulis juga Cerita Samudramanthana dan Cerita Garudeya.

Cerita Samudramanthana

Samudramanthana ini menceritakan taruhan antara kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu untuk mencari air amarta atau air kehidupan. Gunung Mandara dipakai sebagai pengaduknya. Dewa Wisnu berubah menjadi seekor kura-kura dan menopang gunung mandara. Kadru menebak bahwa ekor kuda pembawa air amarta yang akan keluar dari lautan susu berwarna hitam sedangkan Winata menebak ekor kuda itu berwarna putih. Ternyata kuda yang membawa air amarta berwarna putih. Tetapi anak-anak Kadru yang berwujud naga menyemburkan bisanya sehingga warna ekornya berubah menjadi hitam. Walaupun bertindak curang Kadru menang dalam taruhan. Kemudian Winata dijadikan budak oleh Kadru.


Cerita Garudeya

Cerita garudeya mengisahkan tentang pembebasan Winata oleh anaknya, Garudeya. Ia menemui para ular meminta ibunya dibebaskan dari budak Kadru. Mereka setuju asal Garudeya pergi ke tempat peyimpanan air amarta yang dijaga para dewa dan air tersebut diserahkan kepada para ular. Akhirnya Winata berhasil dibebaskan dari perbudakan Kadru.


Kisah-kisah ini mungkin yang menjadikan alasan masyarakat tradisional untuk menggunakan candi Cetho sebagai tempat ruwatan bagi orang-orang yang ingin lepas dari segala mala, belenggu, nasib buruk atau kesialan hidup. Orang-orang seperti itu disebut sebagai Sukerto. Dalam pandangan tradisional, mereka harus diruwat/disucikan melalui upacara ruwatan supaya terbebas dari ancaman Betara Kala, raksasa besar yang kejam dan menakutkan, yang suka memangsa para sukerto.

Relief pada panil-panil batu yang tersusun tegak ini menceritakan tentang kisah Sudhamala yang menginspirasi upacara ruwatan di komplek candi ini.

Di teras ke-6 ada 2 (dua) buah pendopo limasan terbuka di kanan dan kiri. Pendopo ini mungkin dibangun untuk tempat beristirahat dan melakukan persiapan sebelum melanjutkan perjalanan religius berikutnya ke tahap yang lebih luhur dan suci.

Bangunan joglo berukuran 7,5m x 7,5m berada di kanan dan kiri teras ke-6.
Teras ke-7 terdapat bangunan berukuran 12m x 9m di kanan dan kiri, yang dapat saya samakan dengan wantilan yang ada di kompleks Pura Hindu. Wantilan mempunyai pengertian sebagai bangunan besar terbuka, atapnya biasanya dibuat bertingkat, berguna sebagai tempat pertemuan untuk menampung berbagai aktivitas umum. Wantilan, mencerminkan bahwa bangunan ini bukan dipersiapkan untuk kegiatan yang bersifat pribadi. Di sini, bangunan ini dipakai oleh para wisatawan untuk beristirahat, bercengkrama, tiduran dan bahkan pacaran.

Bangunan wantilan. Perhatikan perbedaan atap joglo dan atap bersusun di bangunan ini.

Di sisi kanan dan kiri teras ke-8 terdapat bangunan kayu joglo terbuka berukuran kurang lebih 2m x 4m. Bangunan-bangunan ini seperti mau menggambarkan bahwa hanya beberapa orang yang mampu mencapai  teras ke-7 untuk dapat melanjutkan perjalanan religius ke tahap yang lebih tinggi. 

Teras ke-9 adalah teras terakhir berbentuk empat persegi panjang sebagai tempat pemujaan. Disini terdapat bangunan batu berbentuk pyramid terpancung dengan delapan buah umpak batu di atasnya. Di depannya terdapat beberapa bangunan bale kayu kecil-kecil, sebagian tertutup sebagian terbuka sisi depannya. Bangunan-bangunan ini seakan-akan ingin menggambarkan bahwa yang dapat mencapai tataran puncak kesucian jiwa hanyalah beberapa orang khusus, hanya orang-orang terpilih yang secara pribadi dapat bersetuhan dengan Sang Yang Suci dalam kontemplasi di bale-bale kecil yang ada di sana.

Bangunan berbetuk piramid terpancung di teras puncak komplek candi Cetho.

Selain candi Cetho, terdapat juga Pura Saraswati di sekitar komplek candi yang menjadi tempat pemujaan umat Hindu. Tak jauh dari situ juga terdapat bangunan di bagian lereng yang terjal, tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan pemujaan. Tempat ini disebut dan dikenal oleh masyarakat sebagai Candi Kethek. Sayang, saya dan anak-anak tidak sempat mengunjungi dan menikmatinya.

(Iono Sandjojo)


Catatan:
Foto hewan mimi yang diambil dari www.thelivingocean.net
Mimi atau belangkas, adalah jenis hewan beruas (artropoda) yang menghuni perairan dangkal wilayah payau dan kawasan mangrove, termasuk keluarga Limulidae. Dalam bahasa Inggris disebut horseshoe crab, sedangkan dalam bahasa Jawa, untuk yang jantan disebut Mimi dan yang betina Mintuna. Binatang purba yang masih hidup hingga kini ini selalu ditemukan berpasang-pasangan, maka oleh para leluhur orang jawa nama hewan ini diabadikan dalam pepatah "mimi lan mintuna" untuk menggambarkan keabadian cinta seperti penggambaran kesejatian cinta oleh William Sakhespeare dalam tragedi kisah Romeo and Juliet (Iono Sandjojo).


**********

Berikut ini adalah beberapa foto di sekitar kawasan candi Cetho, yang dapat anda lihat dan perbesar dengan cara klik satu kali.

Susunan batu di teras ke-4 yang menggambarkan burung garuda, dan seekor kura-kura diatasnya, serta tatanan batu berbentuk segita yang memuat sangkalan memet 1373 Saka dan batu berbentuk phallus pada ujungnya.


Salah satu relief yang menceritakan kisah Sudhamala

Salah satu arca yang kepalanya hilang entah kemana...

Arca lain di teras ke-4, yang juga tak berkepala.

Potret Desa Gumeng - Cetho


Kebun teh di sekitar candi Cetho

Panorama kebun teh di lereng barat Gunung Lawu yang dapat dinikmati sepanjang perjalanan ke candi Cetho


Sisi lain kebun teh menjelang sore hari.

12 comments:

alin said...

baru bagian 1.. lgsg gatel pengen komen : sate landak, Pak? kan itu makhluk lucuu... T_T

komen selanjutnya setelah selesai baca semuannya ya.. sekilas fotonya keren abis.. :D

heru patria utama said...

Wah...hebat sampeyan.

Mariaanna said...

sepertinya dulu aku pernah kesitu..sing ana yoni karo linggo yo...eh salah aku kunjungi waktu itu candi sukuh ding bukan candi cetho

Endang Cahyaningsih said...

Wah, neng candi cetho ra ngajak2 to guh,...buat tmpt reunian py? Sambi hiking kan malah seru ya,.drpd pusing cr tempat yg cocok ga dpt2 he..he..

Lory Noya said...

Gusti..great reading, thanks for sharing..like the photos :)

Agnes Chandra said...

Benar2 pemandangan yg indah,..sipp,.pinter2 yg motret,..sayangnya aq ga ikut 'pose' di situ,..hiks,.hiks,.

Yusak Totok said...

wah oleh2 -e kang

Lilik Moer said...

Ak wis kapok mrono..medane medeni bngt

Fai Zal said...

kok dadi pinter sejarah guh?

Iono Sandjojo said...

Alin@ landak ki ternyata lucu dan enak....

Heru Patria Utama@ ketok nek aku ki kurang gawean kuwi Ru..

Mariaanna@ Ada juga tapi tidak seperti yang di candi Sukuh..

Endang Cahyaningsih@ Enak pemandangannya tp gak enak untuk kumpul2 nDang..

Lory Noya@ Thanks my good man! Wishing to hear news fabulous Malakhai growing up... Thanks for thumbs in FB.

Agnes Chandra@ Mulane melu....piye Au?

Yusak Totok@ Adem Sak....

Lilik Moer@ Cen medeni tenan dalani Lik.....

Faizal@ lha kan sinau buu sejarahmu sing sak buku selama 3 tahun di sma...hehe

Salam hangat...

Iono Sandjojo said...

Thanks juga untuk Galih Marinto Michiko, Agnes Chandra, Rinai Arini, Ign Sukamdiyoko dan Hani Andriyani yang sudah thumb like di FB....

Valentino Yosep said...

sebuah liburan yg tepat bagi kluarga ,udara yg sgr tnpa kontaminasi dari polusi n mengingatkan pd anak2 kita ,bahwa kt punya kebudayaan yg menjujung nilai kearifan n norma2 sosial yg sangat tinggi