Friday, January 14, 2011

MENANGISI PESTA TAHUN BARU (2)

”Sebentar lagi kita pulang ya, Nak. Mau?” kataku lirih hampir menempel di telinga Chardo. Ia mengangguk pelan. ”Jangan takut ya. Bapak ada di sini. Kakak dan adikmu juga masih di sini. Sebentar kita pulang bersama.” Aku sejenak melirik istriku. Ia juga diam seperti anak-anakku dan semua orang yang dini hari itu ada di teras panti. 


Pesta malam tahun baru kali ini tampaknya meski segera diakhiri. Diakhiri dengan ledakan emosi istriku yang bertabur caci maki dan percikan pertanyaan yang melayang-layang seperti bunga kembang api tadi. Apa yang sesungguhnya terjadi antara istriku dan Chardo? Mengapa ia marah di depan orang banyak sedasyat itu? Ahh....saat ini yang penting aku harus menyelamatkan Chardo dari amukan emosi yang mungkin saja makin mengerikan.

Aku beranjak berdiri dan mengajak ketiga anakku berjalan ke kamar. Semua diam membisu dan berjalan layu didepanku.

Pintu kamar segera kukunci dari dalam. Chardo kuminta tiduran di tempat tidur. Aku mulai berkemas-kemas, mengambil semua barang dan bekal yang mesti kubawa pulang kembali. Kakak dan adiknya menemaninya. Semuanya tetap diam.

”Sudahlah nak,” kataku memecah keheningan. ”Sekarang jam 2.30 dini hari. Ayo kita pulang! Bapak ngantuk tetapi tidak ada pilihan lain, kita pulang saja. Nanti bapak akan menyetir pelan-pelan saja. John, tolong dibantu bawa tas-tas ini!”

Kami berempat langsung keluar pintu kamar dan berjalan menuju mobilku yang kuparkir di teras panti. Istriku sudah tidak ada di kursi yang ia duduki tadi. Para pasienpun tinggal beberapa yang masih lalu lalang di halaman. Aku pamitan ke pengurus yang masih diam entah memikirkan apa. Wajah merekapun dipenuhi kerut-kerut pertanyaan, apa yang sesungguhnya terjadi. 
Mobilpun meluncur pelan meninggalkan panti dalam kegelapan malam tahun baru. Kaca mobil kubiarkan terbuka sehingga angin gunung yang dingin menyapu keras wajahku. Belum ada yang memulai bicara. Chardo duduk di kursi depan. Matanya masih menerawang. Aku tahu ia sedang mengendalikan perasaannya. Itu yang selalu kuajarkan ke anak-anakku. Aku ingat pernah mangatakan kepada mereka, jangan biarkan jiwamu hanyut dalam gelora emosi. Terimalah segala yang mungkin menyakitkan meski hatimu ingin menolaknya.

Jalanan sepi. Langit, sesekali masih menebarkan kembang api berwarna-warni. Tetapi itu sudah tak berarti. Tak ada lagi keindahan yang bisa dinikmati. Aku hanya menarik dan menghembuskan nafas pelan. Menuruni jalanan merenungi apa yang barusan kami alami.

Memasuki jalan tol aku segera membelokkan mobilku ke rest area terdekat dan masuk ke tempat parkir yang juga sepi. Restoran dan mini market masih buka. Tetapi juga sepi. Kutengok ke bangku belakang, John dan Luis sudah terlelap, sedangkan Chardo masih terjaga.

Aku menawari Chardo sekaleng minuman ringan yang masih tersisa. Ia meraihnya, membukanya dan langsung menenggaknya pelan. Ia menolehku dan melempar senyum. ”Terima kasih pak!” katanya lirih.

”Ya, Nak!” aku menyahut sambil mengusap-usap kepalanya. Pikiranku masih dibayangi pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan ibunya. Tapi aku tak berani bertanya. Tepatnya, tidaklah bijaksana menanyakan hal ini disaat anakku mungkin baru terbebas dari tekanan yang menimpa hati dan perasaannya. Aku tak mau keingintahuanku malah menjadi beban baru.

”Ini jam berapa, pak?” tanyanya membuatku lega. 
”Jam 3 pagi!” jawabku singkat. Aku berharap-harap ia kembali melemparkan pertanyaan lainnya. Bagiku itu tanda penting apakah ia sudah mengendalikan perasaannya sendiri atau belum.

Lampu jalanan tol dini hari itu padam. Meski tidak semua mati, kegelapan menutup jarak pandangku ke depan. Sorot lampu kendaraan dari jalur seberang terhalang selimut kabut tipis. Sesekali aku dikagetkan oleh orang kampung yang menyeberangi jalan tol yang gelap itu. Aku sulit membedakan antara bayangan perdu di median dan bayangan orang yang berdiri akan menyeberang. Aku harus mewaspadai setiap bayangan yang digerakkan oleh sorot lampu mobil dari depan. Mataku harus kubuka lebar-lebar. Menyusuri jalan tol pagi ini menjadi perjuangan berat karena rasa kantuk kian berat terasa.

”Pak!” Chardo memecah keheningan. ”Bapak tidak usah mengkawatirkan aku. Aku tidak sedih kok dimarahi mama. Aku malah kasihan mama. Kenapa sudah sekian lama, kondisi begitu-begitu saja. Malah kadang tambah parah.” Sejenak ia berhenti sambil membetulkan jaketnya. ”Lebih kasihan lagi bapak. Semua ini harus bapak urus sendiri. Ya, kalau mama atau saudara-saudaranya mendukung bapak. Bapak justru lebih sering disalahkan mama dan saudaranya. Aku memang kaget, sedih, takut sewaktu dimarahi. Tetapi aku ingat bapak yang selalu kuat dan diam saja menerima situasi seperti itu. Jadi ya...sudahlah. Mau apa lagi,” ia berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan, ”Bener kan pak?”

Mataku basah digenangi hangat air mata. Aku terharu mendengar apa yang diungkapkannya  padaku. ”Terima kasih, nak!” jawabku singkat. ”Kalau kamu ngantuk, tidur saja!”

”Aku tidak ngantuk kok, Pak! Aku pingin menemani bapak. Kasihan kalau nyetir sendiri,” jawabnya.

”Terima kasih!” kataku. Aku senang karena apa yang kukawatirkan sama sekali tidak terjadi padanya. Bahkan apa yang kurasakan di dini hari ini sungguh membuatku bangga. Aku kemudian mengajaknya ngobrol untuk menghilangkan penat dan kantuk.

Seakan bisa membaca kagalauan pikiranku, ia kemudian menceritakan kronologi peristiwa tengah malam tadi. Ia menduga kemarahan ibunya berawal dari obrolan yang mereka lakukan di halaman panti tadi malam. Ibunya mengatakan pingin segera pulang. Ketika dia ditanya kapan kira-kira ibunya bisa pulang, Chardo menjawab tergantung bapak. Rupanya jawaban ini mengundang kemarahan ibunya.

”Mungkin mama berharap aku menjawab dengan tepat kapan mama boleh pulang. Tetapi aku kan tidak tahu pak, makanya aku jawab begitu,” tuturnya.

”Menurutmu apa mamamu bisa pulang sekarang?” tanyaku.

”Ya, kalau lihat kondisi mama yang belum stabil seperti itu, mana mungkin pulang dalam waktu dekat ini. Seandainya tadi aku jujur, barangkali marahnya tambah besar.” ia diam sejenak, kemudian menoleh kepadaku dan meyakinkanku dengan berkata, ”Tapi ya sudahlah, pak. Aku benar-benar tidak apa-apa kok. Aku sudah hafal dan mengerti sifat mama!”

“Kamu memang benar, nak,” jawabku. Aku kemudian melanjutkan, ” Kalau kita pergi ke ViSA, kita memang tak perlu mengingat-ingat betapa sakitnya dimarahi, betapa sesaknya mendapatkan amuk kebencian mamamu. Kita datang bukan untuk memuaskan kerinduan dan meminta kasih sayangnya. Kita datang untuk menunjukkan padanya kalau kita masih memberi perhatian meski ia sendiri mungkin tak membutuhkannya,” kataku datar. Mataku yang makin berat harus tetap kubuka untuk memandangi jalanan lurus di depan.

“Kadang dia memang berada di kondisi dimana tidak lagi menganggap kamu sebagai anaknya. Seperti halnya ia menganggap bapak sebagai musuh terbesarnya. Selama kamu masih sadar bahwa dia adalah ibumu, tunjukkan kepadanya bahwa kamu mencintainya. Jangan pernah menyesali apapun dan mundur selangkahpun bahkan ketika dia tak lagi mengenalimu.” Aku berhenti sejenak. Tangan kiriku meraih botol minum di sela jok depan, membuka tutupnya lalu menenggak air putih yang tersisa beberapa ceguk. Kutengok Chardo sejenak. Ia masih menyimak omonganku.

Melihat dia bisa tersenyum tanpa beban, meski hanya sesaat, kita semua sudah puas. Melihat dia menikmati pemutar MP3 penuh ekspresi kegembiraan, kita puas. Bukan hal-hal besar yang dia tunggu. Dia hanya mengharapkan kegembiraan sepanjang hari,” kataku.

Chardo mengangguk dan mengucapkan terima kasih padaku. “Aku senang bisa pulang sekarang. Kalau bapak ngantuk, istirahat dulu saja!” ia tersenyum menatapku.

Akhirnya, kami kembali menyusuri jalan tol Jagorawi menuju ke rumah. Rencana perayaan tahun baru akhirnya diakhiri hanya 1,5 jam setelah jam 0.00 disoraki dengan doa, harapan dan nyala kembang api. Selebihnya kami semua diam di dalam mobil yang kami naiki sepanjang jalan pulang dalam kabut rasa kantuk yang berat.

Jakarta, Mei 2010
Seorang ayah yang sedang menemani anak-anaknya dalam perjalanan sunyi.

4 comments:

Angel said...

Terima kasih sudah mengajariku banyak kehangatan dan cinta kasih. belajar untuk terus mensyukuri hidup...,memberi lebih banyak dari yg ingin kita terima. salam hangat untuk ayah dan malaikat" kecilnya..., Tuhan menyertai kita. ^-^

Iono Sandjojo said...

Angela, kisah ini memang bukan "cocktail psychology" yang serba instant. Siapapun yang belajar dari semua penderitaan hidupnya akan menemukan pelajaran yang sangat berharga. Kadang bukan karena kita makin mengerti, tetapi karena kita makin percaya, bahwa bisa menghadapinya.

Terima kasih komentarnya dan salam hangat.

M Roby said...

Ahh... lagi2 gak kuat, padahal sudah dikuat2in. salam hangat buat sahabatku dan ketiga putranya.

Iono Sandjojo said...

Untuk M Roby, sahabat dan kakak guru yang baik hati, saya merasakan perhatian dan salam yang anda berikan sebagai energi yang menghangatkan dan makin menguatkan kami.

Salam hangat saya untuk kakak guru, ibu dan anak-anak yang manis di rumah.