Thursday, January 13, 2011

MENANGISI PESTA TAHUN BARU (1)

Pesta tahun baru silam mungkin akan sulit dilupakan Chardo. Acara yang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya sebagai wujud cinta anak-anak kepada ibunya, dalam sekejap menjadi tragedi ketika secara tiba-tiba ia mendapatkan makian sangat dasyat ibunya di depan banyak orang yang sedang menikmati pesta tengah malam itu.

Tahun ini adalah tahun ketiga kami merayakan tahun baru di panti  rehabilitasi ini. Secara kebetulan saja, istriku dirawat di situ selalu di seputar pergantian tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku memesan kepada pengurus panti untuk membeli seekor kambing untuk dimasak bersama semua pengasuh dan pasien. 

Disaat seperti ini, aku melihat kehebatan para pengurus ViSA dalam membangun kebersamaan antara penghuni ViSA dengan penduduk setempat. Pesta kecil tahun baru ini adalah contoh dimana kearifan lokal berjumpa dengan pendatang yang adalah ”orang-orang sakit yang memerlukan pertolongan”. Dari kemauan dan ketulusan yang terpancar dari wajah-wajah mereka ketika ikut menyembelih kambing, menyusun tusuk sate, menyiapkan api, menanak nasi, mengupas jagung dan melakukan banyak hal di panti ini, aku sungguh mengagumi kebesaran hati penduduk desa ini. Canda dan tawa dalam berbagai bahasa menjadikan suasana makin hidup. Secara pribadi, melihat hal-hal semacam ini sudah sangat memuaskan hati daripada ritual rutin tengah malam nanti ketika melewati detik-detik tahun baru.

Panti ini terletak di sebuah kaki bukit yang termasuk bagian dari tanah pasundan. Panti ini sebenarnya adalah sekumpulan rumah mewah milik seorang Cina kaya di Jakarta, yang kini telah dibagi-bagikan kepada para pewarisnya, termasuk pewaris yang kemudian menjadikan miliknya sebagai panti rehabilitasi. Ketika pertama kali aku datang ke tempat ini kubaca tulisan kecil di pintu gerbang utamanya ”Villa Semesta Alam”. Orang-orang setempat lebih mengenalnya dengan nama ViSA, kependekan dari nama itu. Dibandingkan dengan bangunan-bangunan mewah lainnya di dalam kompleks ViSA yang dilengkapi dengan antena parabola besar dan menara tinggi menjulang yang entah apa fungsinya, Panti ini jauh dari kesan mewah bahkan sangat sederhana. 

Panti ini memiliki 3 buah bangunan. Bangunan utama berdiri kokoh dan megah di pinggir sungai Batu yang airnya bening bergemericik sepanjang tahun, sebuah rumah kecil lainnya ditinggali oleh kepala panti berdiri di tepi jalan desa di ujung jembatan beton dan satu bangunan lainnya adalah rumah batu sangat sederhana berdiri di kaki bukit untuk sebuah  keluarga penduduk asli desa itu yang seluruh anggota keluarganya bekerja di panti sebagai juru masak, keamanan, dan tukang kebun. Dilatarbelakangi biru gunung dan bukit-bukit hijau di kejauhan sana, sungai Batu ini makin menampakkan pesonanya. 

Karena berada di tataran tanah pasundan, maka orang-orang Sunda – yang sejak dulu kukagumi tutur bahasanya yang sangat musikal dan kedengaran seksi – mendominasi percakapan-percakapan sehari-hari hunian ini. Sementara itu di dalam panti ini ada lebih dari 20 orang relawan pengasuh berasal dari berbagai daerah yang bahasa dan dialeknya tidak sama dan ada sekitar 50 orang pasien yang berlatar belakang budaya sangat beragam juga. Ini semacam Indonesia mini yang terbentuk dalam cahaya suram karena mereka adalah para pasien gangguan jiwa yang datang dari berbagai suku seperti Jawa, Sunda, Nias, Bugis, Dayak, Bali, Lombok, Flores, Batak, dan juga orang Cina entah dari kota mana. Seringkali tawa, senyum, tangis dan jeritan yang terjadi di tempat ini bukan ekspresi kegembiraan atau kesedihan tetapi hanya gaung kekosongan hati dan pikiran yang muncul tanpa ekspresi, datar dan dingin.

Sambil menyelesaikan pekerjaan masing-masing, percakapan-percakapan mereka menjadi symponi yang asyik dinikmati, terutama bila orang-orang desa dan anak-anak bercanda dalam bahasa sunda ditimpali oleh para relawan pekerja yang sengaja memakai bahasa mereka sendiri. Aku seperti menikmati akapela yang sangat alami dan spontan dari mereka yang memadukan perbedaan dalam renyahnya tawa kedamaian hidup di desa.

Aku memanggil istriku yang sejak tadi memilih berjalan kesana kemari. Kadang kulihat dia duduk berdua dengan temannya di bawah pepohonan di samping panti. Kadang ia keluar masuk dapur memandangi semua relawan yang sedang menyiapkan masakan. Aku sendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya, menyiapkan sendiri masakan khas kotaku berbahan baku daging kepala kambing, dimasak dengan rempah-rempah lengkap tanpa santan kelapa. Thengkleng namanya. Aku mengenalkan masakan ini kepada para relawan pengasuh dan pasien di tempat ini sejak dua tahun lalu. Berapapun banyak masakan ini kubuat, habis dilahap oleh mereka semua. Enak, katanya. 

Bagi istriku kesibukan di dapur bukanlah sesuatu yang menarik baginya. Pada awalnya aku berpikir, keterlibatannku di dapur dapat mengundangnya berbaur bersama, seperti halnya yang dilakukan anak-anakku. Tetapi karena ia memiliki pilihan sendiri, maka kini aku tak lagi berharap bisa menggugahnya bahwa kebersamaan bisa menghilangkan beban pikiran dan mengalihkannya ke hal-hal yang menyenangkan. Segala upaya dan bujuk rayu yang telah kami coba untuk mengajaknya sia-sia belaka. Luis, anak bungsuku, yang sebentar-bentar kusuruh menyambangi ibunya juga tak menghasilkan apa-apa. Ya sudah, toh kulihat istriku kelihatan bahagia menikmati kesibukannya di bawah pohon bersama temannya itu.

Siang sudah lewat, senjapun datang. Perlahan-lahan malampun tiba. Setelah makan malam sate kambing dan thengkleng kambing, kusuruh anak-anak beristirahat di kamar agar nanti dapat bangun tengah malam merayakan tahun baru. Lalu lalang orang di luar kamar dan canda para pasien dan pengasuh di ruang tamu, rupanya mampu mengalahkan usaha kami untuk istirahat tidur meski hanya sejenak. Apalagi sejak tadi sore setelah anak-anakku membagikan terompet keseluruh pasien, pengasuh dan pekerja, jangan berharap ada interval keheningan. Teriakan terompet menyalak setiap detik. Tapi kemudian menjadi senyap setelah seorang pengasuh yang sedang piket memerintahkan para pasien agar masuk kamar untuk tidur. Walau tak seberisik tadi, sesekali pekik terompet masih terdengar dari kamar-kamar pasien di lantai 1 maupun lantai 2.

Gagasan istirahat di kamar akhirnya hanya kesia-siaan. Tak satupun dari kami bisa memejamkan mata di keramaian menjelang tahun baru ini. Yang terjadi justru canda dan tawa tiada henti. Pada kesempatan itu, kulihat anak-anak, meski kadang kaku dan dipaksakan, bisa bercengkerama dengan ibunya. Sesekali anak-anak diam tak menyahuti omongan ibunya yang mungkin tidak ’nyambung’. Mereka bertiga sudah sangat maklum bagaimana harus berbicara dengan ibunya. Diam lebih baik daripada salah mengucapkan kata-kata yang mungkin tak berkenan di hati ibunya.

Ledakan kembang api dan lolongan terompet memecah malam. Tahun baru, baru saja merekah. Kredo doa syukur dan harapan baru saja didaraskan bersama di ruang tengah panti rehabilitasi ini. Desing kembang api dan percik nyala api bertebaran di semua dinding langit malam itu. Langit menjadi ruang ekpresi kebebasan, sinar kembang api warna-warni menyapu kegelapan di semua sudut malam. 

Di seputar panti, suasana menjadi sangat meriah karena semua pasien bebas keluar gedung panti, sementara anak-anak desa bersorak-sorak dan orang-orang tua berkerudung sarung lalu lalang di pematang sungai dan sawah, menengadah ke langit menikmati kegembiraan malam tahun baru. Anak-anakkupun bergantian menyalakan kembang api kecil untuk dilemparkan ke ranting-ranting pohon di pelataran panti. Semua orang, semua pasien bersatu dalam gegap gempita tahun baru.

Beberapa orang pria desa yang sering membantu bersih-bersih panti, malam itu sibuk menyiapkan santap ringan jagung bakar. Sebagian perempuan desa lainnya keluar dari dapur menenteng panci-panci kecil berisi mie rebus panas dan kolak pisang. Siapapun yang ada di situ boleh menikmati hidangan yang tersedia. Ada juga makanan-makanan ringan dan buah yang boleh dihabiskan. Ada juga setumpuk roti keju di atas meja kecil yang diletakkan di halaman panti. Malam ini, seperti dua malam tahun baru sebelumnya, semua pasien, pengurus panti, warga desa sekitar dan keluargaku bersukaria menikmati makanan, minuman, gelegar petasan dan silau kembang api.

Kurang lebih satu jam kami semua melupakan malam yang sangat dingin itu dengan kehangatan tahun baru yang baru saja datang. Aku sudah agak capai berdiri dan kemudian beranjak untuk duduk di deretan kursi besi di teras panti. Anak-anakkupun ikut duduk-duduk di situ. Istriku tak kelihatan. Bahkan sejak beberapa saat lalu ia juga tak kelihatan di pelataran. Entah ada dimana dia.

”W*^##$@+&!!”>?/*~#....!” tiba-tiba menggelegar teriakan keras pecah dari mulut istriku. Tangan dan matanya  terarah tajam ke anakku Chardo. Aku tak tahu dari mana ia datang. Kulihat ia berdiri memakai jaket krem bersandal jepit biru, persis di tengah pintu kayu yang menghubungkan teras dan ruang tengah panti.

Aku diam. Bibirku terkunci oleh keterkejutan ini. Ada apa ini? Kurangkul Chardo dan kuusap rambutnya. ”Ada apa?” tanyaku pelan. Chardo diam tak menjawab. Kucoba melihat matanya dengan mendorongkan mukaku ke depan wajahnya yang menunduk. Tak ada ekspresi sedih atau takut. Belum sempat aku menyelidik lebih jauh, ibunya kembali berteriak keras memaki-maki anakku. Chardo makin menggenggam kuat jemari tanganku. Aku dapat merasakan apa yang kini menyelimuti perasaannya. Aku hampir menangis. Tetapi aku berusaha menyimpan kembali air mata yang mulai menutup hangat bola mataku. Tidak. Chardo tidak boleh tahu kalau aku menangis. Aku harus menguatkan hatinya.

”Dasar anak tidak tahu diri. Kamu kira mamamu gila,” istriku berkacak pinggang berdiri didepanku. Waktu itu ada banyak petugas panti dan pasien yang sedang menikmati jagung rebus. Mereka duduk berderet di kursi besi yang ditata mengelilingi teras. Semua, kukira, sedang berhenti mengunyah jagung dan melihat apa yang sedang terjadi pada istriku. ”Kenapa kamu menjawab ’tergantung bapak’? Apa kamu tidak punya otak? Apa kamu memang bersekongkol dengan bapakmu membiarkan mamamu tinggal di panti gila ini? Siapa yang gila? Kalian semua yang gila. Bukan mama!” ia berhenti sejenak dan mencari kursi kosong yang ada di sebelah kiri kursiku. Ia lalu duduk dan kedua tangannya berpegang pada handle besi yang malam itu dinginnya terasa sangat menggigit. Sementara John dan Luis kulihat tenang duduk dikursi sebelah kananku.

”Dengar....!” ia berteriak sambil telunjuknya diarahkan ke jidat Chardo yang masih menunduk. ”Kau pintar itu karena siapa? Jawab! Karena mama, kan? Kau sebesar ini itu karena siapa? Mama! Siapa yang mengurusmu? Mama, kan? Mau jadi apa kamu kalau tidak ada mama?” Ia berhenti sejenak. ”Tapi apa balasmu sekarang hei anak tak tahu diri?!!” Suaranya bergetar, keras dan penuh emosi.

Kudekap Chardo. Kepalanya kutempelkan di dadaku. Aku berbisik pelan-pelan mengucapkan kata-kata yang bisa menenangkan hatinya. Aku terus berusaha mengalihkan perhatian Chardo agar bisa menutup telinganya dari serangan kata-kata ibunya yang kian tajam. Aku tidak mau anakku ketakutan. (Bersambung)

4 comments:

alin said...

aku terdiam... mataku tak mampu ku alihkan dari page ini.. dan akhirnya aku menyesal kenapa aku menyarankan pengalaman ini dibuat bersambung... part 1 dan 2...
saya hanya bisa membayangkan.. dan 75% yakin saya ga bakalan sekuat the three musketeers.. eh plus Bapaknya...

Iono Sandjojo said...

Tks Alin. Siapapun, disaat menghadapi sendiri kesulitannya, akan menemukan cara terbaik untuk mengatasinya.

Unknown said...

tidak dapat menebak bagaimana ending cerita ini. tetapi tetap yang harus diyakini adalah setelah kesulitan akan datang kemudahan.....

selamat tahun baru Bapak, selamat merayakan indahnya kebesaran hati..... <3

Iono Sandjojo said...

Ida@ Terima kasih....selamat tahun baru juga. Benar mbak, matahari selalu terbit setelah gelap menyelimuti malam. Hidup kitapun akan terus berulang seperti itu.

Selamat menempuh hidup baru mbak. Semoga kehangatan hidup berkeluarga terpelihara sekarang, selalu dan selamanya. Amin

Salam hangat,