Wednesday, January 26, 2011

JUNI 2004 (1)

Semalam aku gagal memaksa diriku tidur ketika sepanjang malam istriku meratapi penderitaan hidupnya di tengah keluarga yang katanya tidak pernah menyayanginya, mengekang kebebasannya, dan tak menghargai jerih payahnya setelah mengangkat harkat martabat suaminya yang miskin dan buruk rupa. Ia begitu membenciku, tapi ia ingin aku ada didekatnya, mendengarkan sumpah serapahnya tentang diriku.

Mataku masih berat. Perjuangan tadi malam menyisakan rasa ngilu yang luar biasa di kedua siku tanganku. Otot tubuh belum sempat kuregangkan. Pikiranku masih dipenuhi suara-suara istriku yang kurekam dalam rasa kantuk yang sangat dalam, - saat tepat menyimpan memori secara kuat - sehingga tidak cukup bagiku bangun pagi satu kali untuk melupakannya.

Melayang antara sadar dan tidak sadar, kini aku sudah dikejutkan oleh ledakan emosinya. Aku diam sejenak dan cepat-cepat sadar kalau situasi ini toh tak dapat kutolak. Rupanya “pesta” semalam belum juga memuaskan dirinya.

Kubiarkan saja pikiran jernihku diracuni emosi kompulsifnya, meski jauh didalam hatiku, aku ingin bebas dari situasi ini. Bisakah? Sadarkah aku bila kondisi kejiwaan istriku saat ini sudah sangat mengkhawatirkan? Aku sadar! Tetapi kesadaranku toh tak banyak artinya bagiku, bagi anak-anakku dan bagi dirinya. Lihat saja rutinitas yang ada. Berkunjung ke psikiater 1 atau 2 bulan sekali, menyuruhnya minum obat-obat psikotropik sehari 2 sampai 3 kali, masuk perawatan intensif psikiatri di rumah sakit paling tidak setahun 2 kali. Apa hasilnya? Kini setelah lebih dari 5 tahun ritual ini kujalani, statistik dari semuanya itu kian memprihantinkan saja.

Aku masih tiduran di ruang doa itu. Kedua tanganku kuletakkan di belakang kepalaku. Mataku kubiarkan tertutup tetapi pikiranku tidak. Aku mencoba merekonstruksi kondisi kejiwaan istriku saat ini. Sudah sejak seminggu yang lalu ketika aku berada di sebuah kota kecil Muara Enim di provinsi Sumatra Selatan – ini tugas untuk mengunjungi salah satu proyek pembangunan jalan yang sedang ditangani perusahaan tempatku bekerja - aku sudah merasakan surutnya kestabilan emosi istriku. Ini pertanda awal. Waktu itu, beberapa kali ia menelpon hanya untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan melalui telepon interlokal, apalagi harus dengan teriakan dan debat tanpa arti. Tak ada manfaat apapun kecuali mengganggu konsentrasiku bekerja di tempat terpencil tersebut.

Tentang uang misalnya, ia merasa kalau uang yang kuberikan jumlahnya terlalu kecil. Ia bahkan menuntutkan memberikan gaji besar untuk membayar semua yang telah ia lakukan di rumah. Di saat lain, kadang ia menelpon untuk memuntahkan kemarahan kepadaku dan mengumpatku dengan menyebutku suami yang tidak pernah mau memberi kecukupan materi atau uang untuk membeli segala yang ia inginkan. Uang dan harta benda memang menjadi topik utama semua kegelisahan dan sumber kemarahan yang luar biasa akhir-akhir ini.

Kulirik jam dinding masih menunjuk pukul 05.00. Samar-samar kudengar John memanggilku untuk membantu melakukan persiapan sekolah. Pada saat yang sama aku harus memasang telingaku untuk mendengar istriku yang sedang menumpahkan semua keluh kesahnya. Aku tak menanggapinya dan membiarkan dirinya melengkapi deretan panjang permintaannya.

Aku masih duduk bersandar bantal di samping Luis yang masih tidur lelap. Karena aku tak berusaha menanggapi, istriku menarik lengan kaosku dan terus merengek minta uang saat itu juga. Suaranya mulai berbaur dengan isak tangis. Aku terus diam. Sementara mataku tak pernah beralih dari wajah Luis yang nyenyak.

Hening. Sejenak. Tiba-tiba dengan tatapan mata kosong istriku berteriak keras sekali, ”Aku akan minggat hari ini kalau kau tak menuruti permintaanku! Dengar?”

Aku tak menyahut. Juga tak berusaha menanyakan atau menjelaskan sesuatu. Kubiarkan waktu melerai perbantahan di pagi buta itu. Perbantahan? Ya. Menurutku perbantahan tidak selamanya adu kata lewat mulut, tetapi ketika hati kita sudah menyatakan perlawanan dan bela diri, ini tak ada bedanya dengan perbantahan.

Aku langsung bangun meninggalkannya sambil melipat selimut Luis yang semalam tidur menempel di sela lengan dan dadaku. Luis adalah anakku yang masih berusia 13 bulan. Ia bayi yang kuat dan sangat lucu. Aku sangat bangga padanya tetapi aku juga sangat sedih karena diusianya yang masih sangat ranum itu ia harus sudah mengalami kekerasan yang seakan-akan tak pernah berhenti. O Tuhan, aku masih bersyukur kepadaMu, karena anakku seakan-akan menyadari bahwa teriakan histeris ibunya, kemarahan yang tiba-tiba, atau kadangkala benda melayang dari tangan ibunya adalah hal-hal biasa. Bahkan disaat yang tepat, dengan tenang Luis cukup menundukkan – tepatnya menyembunyikan kepalanya di bantal atau disela lenganku bila ia merasa tidak aman karena gerakan atau omongan yang mengagetkannya. Tanpa harus menangis.

Aku bergegas menuju kamar John dan menanyakan apa saja yang pagi ini harus kutandatangani, sebelum menyuruhnya mandi dan minum susu. Ada 5 lembar hasil ulangan semester 2 ini yang harus kutandatangani sebelum dibawanya kembali ke sekolah sebagai bukti kalau orang tua sudah memeriksa hasil ulangan tersebut. Aku mengelus-elus kepalanya dan mengucap selamat dan terima kasih untuk nilai-nilai ulangannya yang di atas 8 semuanya.

”Bapak mau mengantarmu ke sekolah, mas!” aku membisiki John. Ia kaget dan terlihat sangat gembira. Aku sendiri memang berusaha agar setiap hari Sabtu dapat mengantar dan menjemput anak-anakku ke sekolah. Kupikir, sulit mencari waktu lain untuk membangun kebersamaan di siang hari dengan anak-anakku selain hari Sabtu. Bahkan kadang-kadang waktu yang sedikit itupun masih harus diambil sebagaian untuk kegiatan di paroki dimana aku menjadi salah satu ketua Dewan Paroki. Hari Minggu, misalnya, kadang aku bisa seharian berada di gereja untuk berbagai keperluan pelayanan umat atau sekedar menyapa para fungsionaris paroki lainnya.

Aku masih duduk di kursi makan sambil mengelap bekas tumpahan susu tadi malam. Kulihat Chardo juga sudah bangun dan langsung menyatakan keinginannya ikut mengantar kakaknya ke sekolah. Kupandangi dia sambil mengangguk. Aku tersenyum. Dari sorot matanya, kurasa ada ada sesuatu yang sedang ia cemaskan sehingga memutuskan untuk ikut pergi denganku.

Ketika Chardo berjalan dari pintu kamar tidur ke kursi tempat aku duduk, aku memintanya untuk sekalian mengambil jaketnya yang tersimpan di kamarnya. Segera ia balik dan keluar lagi dengan jaket kesayangannya sudah tergantung dipundaknya.

“Tumben, bangun tidur kok langsung pingin ikut ngantar kakak, kenapa?” aku berusaha menyelidik. Ia diam saja dan tak menjawab ketika pertanyaan itu kulangi lagi.

Tiba-tiba, dari dapur ibunya berteriak, "Chardo harus di rumah untuk menjaga Luis!" Teriakan itu segera membuat Chardo mengkerut takut. Tetapi aku cepat-cepat memberi isyarat kepadanya untuk tetap siap-siap berangkat. Ia mengangguk dan berjalan gontai ke kamar mandi untuk cuci muka.

Aku segera mengeluarkan motor dari ruang belakang dan langsung menghidupkan mesinnya. John sudah berjalan menuju ke motor yang sudah kusiapkan di depan gerbang depan. Dari arah dapur, tiba-tiba ibunya berlari menghampiri motor yang sedang menyala itu. Ia meraih kunci motor dan dengan muka seram mencabut kunci motor sambil berteriak, "Ini motorku. Jangan memakai. Kalian tidak boleh memakainya kecuali kalau kau beri aku uang sekarang juga!" katanya seraya menatapku tajam. Wajahnya dingin.

Aku hanya terpana. Aku tak menjawab apa-apa, karena aku tak ingin pikiran John tercemari kekhusutan semacam ini pada saat ia baru akan berangkat ke sekolah. Kulihat, Chardo ikut menyaksikan kejadian ini. Reflek aku minta tolong Chardo untuk mengambilkan kunci mobil di dalam rumah, sekaligus untuk sedikit mengalihkan perhatiannya. Ia segera masuk dan keluar lagi dengan mata merah menahan tangis. Dengan sangat ketakutan ia mengatakan padaku, "Pak, kunci mobilnya diminta mama juga."

Pikiranku panas. Aku mulai tersulut untuk melepas kemarahanku. Jengkel. Tapi ketika kulihat kedua anakku berdiri terheran-heran, memasang wajah sedih dan bingung, aku  sejenak berpikir untuk apa aku ikut marah? Aku tidak ingin  kedua anakku semakin takut. Aku tak ingin John membawa beban rumah seperti ini ke sekolah.

"Ya sudah, kamu berdua tunggu sebentar ya, bapak mau mengambil kunci mobil cadangan. Sana buka pintu gerbangnya!" perintahku kepada mereka sambil mencoba melepas senyum  untuk menghibur anak-anakku itu.

Ketika kunci cadangan ketemu aku segera keluar dan membuka pintu mobil. Segera saja alarm mobil meraung-raung di pagi itu. Tolol aku! Yah, mana bisa memaksa membuka pintu mobil yang masih terkunci remote. Aku baru sadar remotenya tergantung di kunci yang disita istriku. Ya, Tuhan..! Bisik hatiku. Aku kini tak bisa lagi menahan emosiku. Aku berlari mencari istriku.  Ia sedang jongkok di dekat kran belakang rumah. "Mana kuncinya? Aku butuh remote untuk mematikan alarm ini!"

Istriku diam saja. Jari tangannya memainkan kran air di tembok. Wajahnya menunduk. Ia sepertinya tak peduli raungan alarm mobil. Aku mulai khawatir bila tetangga akan terganggu kekonyolan pagi hari ini.

Sebentar kemudian alarm itu diam. Aku bersyukur. Tapi tak berapa lama, kembali alarm mobil itu berbunyi kencang. Yah, lagi-lagi aku baru sadar bagaimana alarm bekerja.

"Pak, aku nanti terlambat lho!" tiba-tiba John berdiri menyusulku. Aku tahu ia takut terlambat, apalagi tahun ini diberlakukan peraturan baru: terlambat akan dihukum berdiri di depan kelas selama 1 jam pelajaran itu. Anakku tentu tak mau kejadian itu menimpanya.

Aku segera berlari lagi ke dalam rumah untuk mencari kunci motor cadangan. Tanpa kesulitan aku menemukanya dan segera keluar lagi, menyalakan motor dan membawa anak-anakku menuju sekolah. Sepanjang jalan keduanya diam saja.

"Kamu berdua masih ngantuk, ya?" aku mencoba memecah kebisuan ini.


"Nggak, kok pak," John menjawab singkat dari belakang punggungku. Sementara Chardo yang duduk di bagian depan hanya menggelengkan kepalanya.

"Ya, sudah kalau tidak ngantuk," aku kemudian terus mengajaknya bicara agar mereka tidak hanyut dalam kesedihan atau ketakutan. "Nanti kalau terlambat, bilang apa adanya ke bu guru," kataku kepada John.

"Tapi..,” sahut John, ”Bisakah bapak membantuku mengatakan itu semua ke bu guru?"  Ia menghela nafas sejenak. "Aku bingung dan takut, pak!"

"Siap! Laksanakan!" kataku menirukan jawaban seorang prajurit kepada komandannya yang biasa kulihat di televisi. John tersenyum. Tangannya mencubit perutku.


Benar juga, kami terlambat sampai di sekolah. Sebagian anak-anak terlihat berbaris antri masuk ke kelas masing-masing. Ada beberapa teman sekelas John yang baru tiba juga. "Pak, aku langsung masuk saja ya. Ada teman lain yang terlambat nih!" 

Dalam perjalanan pulang Chardo mintaku untuk mengantarnya juga ke sekolah nanti siang. "Dengan senang hati, nak!" jawabku sambil berharap dapat mengurangi kecemasannya. Sesungguhnya, tanpa dimintapun aku ingin mengantar dan menjemputnya, apalagi di saat suasana rumah seperti ini. Dalam hati aku hanya berharap, mudah-mudahan hari-hari kami tidak selamanya begitu. (bersambung)

No comments: