Wednesday, January 18, 2012

KUSTA


Kusta dan gangguan penyakit jiwa adalah 2 penyakit yang sangat berbeda, tetapi keduanya sama-sama dianggap aib keluarga dan masyarakat. Tak jarang karena kehadiran penyakit ini, orang memilih untuk menutupinya, menjauhinya dan bahkan menajiskannya.

***

Dalam perjalanan menuju kota Semarang beberapa waktu lalu, kereta api yang kutumpangi melintasi kota Brebes yang terletak di perbatasan antara provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kereta berjalan melambat karena memasuki perkampungan di tengah kota Brebes. Mataku tertuju pada sebuah baliho besar di depan sebuah kantor dinas pemerintahan kabupaten. JANGAN ADA KUSTA DI ANTARA KITA. Begitulah kalimat tunggal yang tertulis dengan huruf-huruf besar dan menyolok rapi di samping foto pejabat setempat dalam ukuran super jumbo. Senyum di foto ini tentu untuk meyakinkan masyarakat bahwa dia bangga dengan komitmen untuk menjauhkan penyakit tersebut dari kehidupan warga Brebes.

Tidak ada yang istimewa dengan pesan baliho itu. Sebaliknya juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya hanya ingat sebuah judul lagu yang dipopulerkan oleh Broery Marantika dan Dewi Yull yang dirilis pada tahun 1996 dengan judul “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”. Sebuah lagu yang enak didengarkan dan juga mudah didendangkan.

Siapapun yang berinisiatif, kalimat di baliho itu tampaknya sengaja ingin menggugah kesadaran masyarakatnya dengan kata-kata yang langsung menghujam ke ingatan kolektif masyarakat dengan meminjam kepopuleran lagu Broery tersebut. Dan menurutku itu akan berhasil. Aku saja yang hanya melintas tak lebih dari 5 detik mampu merekam pesan itu bahkan memikirkan sampai hari ini.

Ketika menulis catatan ini, saat sudah kembali ke Jakarta, saya baru sadar bahwa mungkin ada orang yang tidak hanya merekam tulisan di baliho itu karena kemiripannya dengan judul lagu almarhum Broery, tetapi lebih dari itu ia dan mungkin mereka – karena saya pikir ada banyak jumlahnya – akan merasakan kepedihan yang mendalam, tersiksa dan bahkan seperti terpidana yang makin terpinggirkan oleh stigma negatif dari sebagaian besar masyarakatnya. Mereka ini adalah para penderita kusta terutama yang sudah tak memiliki harapan sembuh, entah karena sudah kronis atau karena himpitan kemiskinan. Orang-orang ini mungkin akan menyimpan pesan itu seumur hidupnya. Bila demikian jargon ini sudah menjadi pisau bermata dua. Satu sisi akan mencapai sasarannya, sedangkan sisi lainnya akan menjadi cuka asam yang kian membuat luka-luka para penderita kusta makin terasa perih.

Tanpa kata-kata yang menyudutkan saja, para penderita kusta sudah tersiksa dengan keadaan fisik tubuhnya yang kian hari kian rusak oleh ulah bakteri Mycobacterium leprae ini. Saat bangun tidur mereka selalu mencemaskan kelengkapan anggota tubuhnya yang ia lihat sebelum berangkat tidur. Adakah bagian tubuh yang hilang pagi ini? Atau luka-luka mana yang pagi ini terbuka berdarah? Mereka sadar bahwa sebagian besar saraf-saraf di lukanya sudah mati dan tak akan merasakan apa-apa bila ada tikus atau binatang lain menggerogotinya semalaman. Mereka tak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah mengolesi dengan salep, jika punya, membalut kembali luka-luka itu agar tak dilalati dan tak bau.

Apalagi bila kini harus menanggung beban sosial yang cukup berat. Kemanapun mereka melangkah akan merasa beribu-ribu mata memandangnya bukan untuk mengasihinya tetapi ingin menolak kehadirannya. Sekumpulan penderita kusta yang kadang terlihat di perempatan-perempatan tak lagi nyaman menadahkan tangan meminta-minta bukan karena malu tetapi khawatir jangan-jangan orang-orang mulai merasa risi melihat "masih ada kusta diantara mereka". Kehadiran orang-orang kusta di tengah hiruk pikuk perkotaan makin terasa menjadi elemen negatif ruang kota yang mesti segera disingkirkan. Bisa jadi sebagian kecil orang yang biasanya murah hatipun mulai tergiring pembenaran publik yang menganggap kusta ini memang bukan sesuatu yang pantas hadir di dalam masyarakat. Persoalan moral menjadi makin langka dalam ranah berpikir semacam itu.

Ajakan untuk membasmi penyakit kusta dari masyarakat tentu secara positif bermaksud mendorong inisiatif melakukan sesuatu, entah membantu, mengobati atau mendampingi mereka yang tidak mempunyai akses kesehatan yang memadai. Bukan sebaliknya untuk menciptakan ketakpedulian untuk memaksa minggir orang-orang kusta yang barangkali kini merasa kecil hati, takut dan merasa tak pantas menempati ruang yang sama yang ditinggali orang lainnya.

***

Gangguan penyakit jiwa, Schizophrenia misalnya, meski sangat berbeda substansinya tetapi dapat dianalogikan dengan kusta. Keduanya sama-sama tidak diharapkan kehadirannya di tengah keluarga atau lingkungannya. Bila tak terhindarkan, yang muncul kemudian adalah pergunjingan yang tak pernah putus. Tak jarang yang menganggapnya sebagai aib, jadi harus disembunyikan. Para tetangga bahkan saudara-saudari sekandungpun tak merasa perlu memperlihatkan empati kepada si penderita atau keluarganya.

Bahkan banyak anggota keluarga sendiri dan masyarakat yang menyatakan pandangan-pandangan tentang schizophrenia ini secara tidak adil. Penyebab-penyebab penyakitpun cenderung dituduh-timpakan kepada orang-orang terdekatnya. Maka tak heran bila tetangga atau saudara dengan enteng melempar pertanyaan,”Memang ada masalah apa di rumah? Banyak tekanan di rumah ya? Mungkin kamu terlalu otriter!” atau kadang tiba-tiba menjadi sesepuh bijak,”Sebaiknya kau beri kebebasan, dia! Jangan terlalu dibebani masalah!” Kadang ada juga pergunjingan sok profesional, “Dia itu sebenarnya bukan sakit anu. Dilihat dari gejalanya, saya yakin  itu hanya masalah anu. Makanya saya heran kenapa dirawat di rumah sakit anu ya?! Kenapa keluarganya tidak mencoba berobat alternatif ke kota anu yang sudah terkenal bagus itu karena saya yakin penyakit anu-nya pasti dapat tertangani!” Ada juga yang mungkin sudah merasa sangat menguasai seluk beluk penyakit ini dan yakin bahwa tak ada pengobatan yang dapat menolongnya,”Tak bisa ditolong lagi. Hidupnya akan tergantung selamanya dengan obat! Tak ada harapan!”

Lain lagi reaksi bila si penderita sedang rawat jalan di rumah. Ada kekhawatiran berlebih untuk melakukan kontak dengan si penderita yang pada akhirnya hanya mengurung si penderita dalam sebuah kotak gelap tanpa rasa cinta dan hormat. Ruang sosialisasi yang diperlukan oleh si penderita untuk belajar hidup bersama dan mengembalikan kesadarannyapun sudah mereka renggut. Anak-anak kecil dilarang bertemu dan berbicara. Gerak-geriknya diawasi. Disisi lain karena ketidakmampuan berpikir dan lemahnya orientasi si penderita justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk menikmati keuntungan dengan mendorongnya menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak perlu.

Persoalannya bukanlah sikap dan pandangan siapa yang benar karena setiap orang senantiasa memiliki perespektif yang berbeda. Sikap permisif masyarakat yang membiarkan sikap semacam itu terus terjadi dan berkembang, bahkan ada sebagian kecil orang malah merintis dan mengajak orang lain menjauhkan “aib” ini dari masyarakatnya, adalah sebuah cara yang sangat simpatik untuk mengabadikan pandangan yang tidak adil itu.

2 comments:

okta said...

yah,, begitulah om,,
banyak sekali orang yang tidak bijak dalam memandang hal yang menyangkut aib,,,

Iono Sandjojo said...

Terima kasih Okta. Ini memang fakta yang terjadi dalam kultur masyarakat kita. Ini lebih pada persoalan moral sebenarnya. Tapi saya yakin sesungguhnya masih ada orang-orang, termasuk dirimu ini, yang terbuka untuk menyikapi secara bijak. Sedihnya bila orang-orang penting dan para pemimpinlah yang justru memberi teladan sebaliknya.

Terima kasih sudah bertemu dengan orang sepertimu.

Salam hangat,
Iono Sandjojo