Thursday, February 10, 2011

JUNI 2004 (4)

Hampir jam 02.00 dini hari aku terbangun oleh suara teriakan istriku. Aku masih sangat mengantuk. Badanku terasa sangat berat karena pekerjaan kantor menguras seluruh tenaga dan pikiranku hari ini. Kali ini, aku sungguh terganggu. Tapi aku hanya bisa terpana dan tak tahu harus berbuat apa. Aku diam antara sadar dan tidak sadar. 


Kutengok Chardo masih terlelap. Tampaknya ia sama sekali tak terusik oleh teriakan ibunya. Aku dan Chardo tidur di ruang doa yang hanya berukuran 2x2 meter. Entahlah, kami berdua merasa tenang tidur di ruang sempit ini. Kadang bertiga dengan John atau Luis. 

Dalam rasa kantuk yang dalam aku bertanya ke istriku, ini jam berapa. Ia tak menjawab. Mulutnya justru tak putus mengeluarkan gerutu dan gelisah tentang uang dan uang. Kata-kata pedas kadang menyelingi kalimat-kalimat panjang yang ditujukan padaku sebagai kekecewaan, protes, kritik, tapi kadang juga penghinaan untukku. Aku sangat terusik dan cukup beralasan bila aku melawan kemarahannya atau mungkin menyuruhnya diam. Tapi itu kusurutkan karena tak akan menghasilkan apa-apa kecuali keributan di tengah malam.

“Aku minta uang sekarang! Sekarang! Mana? Mana?” rengeknya dengan nada melengking tinggi memekakkan telinga.

Aku sebenarnya tak ingin menggubrisnya. Aku lebih ingin melanjutkan tidurku. Badanku benar-benar sedang lelah. Atau mungkin juga jiwaku. Entahlah. Tapi karena ia tak putus-putusnya merengek akhirnya dengan malas aku mencoba menyahut lirih, “Untuk apa malam-malam begini? Mau belanja?” Aku tak peduli ia mendengarku atau tidak. Aku juga tak menunggu jawabannya. Tak ada sahutan juga tak ada rengekan. Suasana hening. Sangat hening. Aku berharap segera dapat melanjutkan tidurku dini hari ini.

“Jangan diam saja, goblok!!!” bentaknya tiba-tiba di dekat telingaku. Keras sekali. “Mana uangnya?" Terdengar nafasnya keras tersengal-sengal. "Aku minta sekarang juga!”

Aku tak menjawabnya. Dalam benakku hanya terlintas betapa bernafsunya ia hari ini mendapatkan uang. Dalam beberapa bulan terakhir ia memang berusaha untuk mendapatkan uang dengan berbagai cara. Kadang meminta secara baik-baik. Kadang dengan cara paksa, menipu dengan alasan-alasan fiktif, atau bahkan mencuri langsung dari dompet, kantong celana atau dimanapun tempatku menyimpan uang tunai di rumah. Kami dan anak-anak sudah hafal dengan perilakunya. Itu sebabnya, kami harus terus memindah-mindah tempat menyimpan uang atau dokumen-dokumen penting lainnya yang menurutku perlu diamankan.

Aku tahu hari ini ia membayar buku-buku pelajaran John yang baru saja naik ke kelas 4. Ia mungkin bermaksud memintaku ganti uang yang ia bayarkan tadi siang. 

“Hei hei!! Mana uangnya? Cepat!! Jangan pura-pura tuli!!” teriaknya makin histeris. 

Sambil berbaring dan mataku masih kututup, aku mengelus dadaku sambil berkata dalam hati untuk tetap tenang. Pelan-pelan, aku berusaha mendaraskan doa pendek dalam hati agar Tuhan memberiku kekuatan.

Yo wis, kalau kamu minta uang sekarang, aku akan ke ATM!” aku mencoba meredakan hatinya. Dalam beberapa tahun terakhir ini aku memang sering keluar tengah malam atau dini hari untuk mengambilkan uang di ATM bila sudah tak ada lagi yang bisa kami kompromikan. Mengambil uang di ATM pada waktu seperti ini bukan tanpa resiko. Apalagi hampir setiap hari ada saja berita kriminal di televisi yang terjadi di seputar kota tempat aku tinggal.

Aku tahu apa yang kulakukan ini tidak menyelesaikan masalah, mungkin malah menambah parah sakitnya. Tetapi paling tidak aku dapat menghindari tekanan yang bisa membahayakan jiwaku sendiri dan juga anak-anakku. Kalau mau praktis, bisa saja kusiapkan uang di rumah agar sewaktu-waktu ia minta, aku sudah siap. Tetapi ini akan menjadi bumerang bagiku, karena ia akan mengartikan bahwa di dalam rumah ada banyak uang dan itu pertanda baginya boleh mengeluarkan uang tanpa kontrol, kapanpun habis kapanpun ada.

Ia masih diam. Kepalanya tertunduk sambil menarik-narik tali sarung bantal yang tergeletak di dekat kakinya. Sesekali matanya memandangku seperti minta belas kasihan, tetapi sesekali juga sorot mata itu berubah menjadi liar, tajam, dan menyeramkan. 

Aku terus menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Dalam hatiku kurasakan ada desiran kencang. Kalau desiran-desiran seperti ini terjadi, biasanya tak lama lagi aku akan mengalami gangguan pencernaan. Asam lambungku memang menjadi berlebihan bila menghadapi situasi seperti ini.  Dalam sehari aku bisa 5-10 kali ke toilet.

Ruangan masih senyap tanpa gerakan. Tiba-tiba ia berdiri dan berlari keluar kamar. Kudengar ia menarik laci mesin jahit dan mendorongnya keras-keras. Ia sedang mencari-cari sesuatu.

“Kunci motor dimana?” istriku berteriak dari luar. “Aku mau pergi!”

Kubiarkan saja ia melakukan apapun yang ingin ia lakukan malam ini. Toh kalau ia pergi, mau kemana tengah malam begini.

“Suami keterlaluan!” tiba-tiba ia sudah berada di dalam kamar, memandangku. “Kalau tidak memberi uang sekarang juga, aku mau pergi!” ia mencoba memaksaku. Nafasnya semakin kencang. Sorot matanya semakin tajam memerah.

“Ya sudah, hati-hati!” jawabku datar. Aku membalikkan tubuhku dan merangkul Chardo yang tampak nyenyak tidurnya.

Kali ini kudengar istriku membuka pintu almari pakaian yang ada diujung kamar tidur. Ia menarik lacinya keras-keras dan kemudian menggeser-geser barang-barang yang ada di dalamnya. Setelah beberapa saat, - mungkin tak menemukan barang yang ia cari -, kemudian ia kembali mendorongnya dan menutup pintu almari dengan kencang. Kepalaku kudongakkan ke atas sedikit untuk mencoba menengok apakah Luis yang tidur di samping almari itu terbangun. Tidak, ia tetap terlelap.

Kemudian istriku pergi keluar kamar, entah kemana. Tak ada suara lagi. Aku bangun dan berjalan menuju tempat tidur Luis. Aku langsung berbaring disampingnya lalu memeluknya pelan. Ia bergerak-gerak dan bergeser sedikit, merengek sebentar sebelum kembali tidur, persis di bawah ketiakku. Berbaring disamping Luis, aku dapat sedikit mengalihkan tekanan dalam batinku yang kurasakan makin berat tengah malam ini. Kututupkan selimut tipis di tubuh Luis sambil terus membiarkan tubuhku berbaring santai. Namun bisakah malam ini aku beristirahat?

“Bangun!!!” tiba-tiba tubuhku digoyang-goyang. Keras sekali. Aku kaget dan segera membuka mata. Istriku sudah duduk bersandar di tembok ruang doa ini. Raut mukanya tampak seram dan rambutnya acak-acakan. Matanya menerawang kosong. Dari celah gordyn jendela kulihat sinar terang pagi sudah masuk ke kamar. Aku bersyukur. Ini sudah pagi. Aku bisa tidur juga akhirnya. Aku langsung menoleh melihat jam dinding. Pukul 05.00 pagi. 

“Cepat bangun. Mana uangnya?” istriku mengulang lagi permintaannya. Kali ini ia tidak hanya melancarkan teror tetapi juga menangis. Biasanya kalau ia sudah menangis kekang kontrol semakin kendor dan aku takut dapat terjadi sesuatu di pagi hari ini.

Aku langsung duduk dan menyilangkan kakiku untuk berdoa pagi. Aku berdoa sangat singkat. 

“Tuhan terima kasih atas semua yang telah kuterima pada malam ini. Hari ini adalah hari kita. Kuharap Engkau bersamaku hari ini. Amin!”

Aku segera berdiri dan keluar menuju kamar mandi. Walau mataku masih terasa sedikit perih, aku basahi juga mukaku agar terasa segar. Kuambil handuk yang tergantung di pintu kamar mandi dan kuusap mukaku pelan. Di kaca aku melihat wajahku sendiri dengan rambut masih acak-acakan. “Hari ini adalah hari baik. Lakukan yang terbaik!” kataku pada bayanganku sendiri.

Keluar dari kamar mandi, aku pergi ke teras belakang rumah. Di situ ada almari besar tempat aku menyimpan alat-alat pertukangan dan barang-barang lain yang masih berguna. Almari ini semacam gudang kecil. Tanganku menggapai bagian atas almari dan mencari-cari dompetku yang tadi malam kuletakkan di situ. Ketika sudah terpegang, aku segera memasukkannya ke kantong belakang celana yang kupakai, sebelum istriku melihat dari mana dompet itu kuambil.

Tak lama kemudian aku sudah siap di atas motor untuk pergi ke ATM. Hanya butuh 5 menit untuk mencapai lokasi ATM terdekat yang terletak di sebuah kompleks pertokoan. Areal pertokoan ini masih ditutup portal besi. Aku menaruh motorku di luar portal dan langsung berjalan menuju anjungan ATM. Selesai transaksi, aku segera kembali ke rumah.

Aku duduk di belakang meja kerjaku di lantai atas. Aku baru saja mau menghitung uang yang kuambil dan memikirkan dimana aku harus menyimpannya. Tiba-tiba istriku sudah berdiri di depan meja.

”Ada yang bisa saya bantu?” mendadak kata-kata itu keluar dari mulutku.

Ia menyodorkan segepok kertas nota, kwitansi dan entah apa lagi, meletakkannya di atas meja. Aku tersenyum membalik-balik kertas-kertas itu. Ada nota pembelian perangkat tidur tahun lalu, ada nota pembelian kosmetik bulan lalu, nota belanja dapur, tagihan listrik dan macam-macam kwitansi bertanggal entah kapan.

”Maaf bu, kok nota pembelian buku malah tidak ada?” 

Istriku menyerahkan selembar kertas kecil, tanpa berkata apa-apa. Aku diam sejenak, membaca lembar terakhir yang barusan kuterima. Bener, ini kertas pembayaran buku sekolah anakku.

”Begini ya bu, karena ada banyak sekali tagihan ibu, sementara persediaan uang di brankas sangat terbatas, tagihan mana yang ibu harapkan untuk segera saya bayar sekarang?” tanyaku dengan ekspresi serius. Mataku tajam menatapnya, menunggu jawabannya. Tak ada rasa marah dan jengkel ketika situasi sudah berjalan demikian jauh seperti ini. Aku mencoba mengikuti permainannya. Kulihat, ia tampak malu-malu. Menggerak-gerakkan jarinya, mengetuk-ketuk kaca meja.

”Bagaimana bu, apa perlu waktu untuk memutuskan?” Ia makin tersipu mendengar pertanyaanku. Tersenyum tetapi bukan kepadaku, wajahnya menatap langit-langit rumah, kemudian beralih memandangi kertas bon terakhir yang masih ada dalam genggamanku. ”Ibu jangan takut. Semua akan dibayar, tapi kapan-kapan! Ini masalah prioritas saja kok, bu! Piye?”

Istriku masih belum memutuskan. Ia menarik sebuah kursi lipat merah ke depan meja lalu duduk. Kepalanya ia letakkan di atas meja. Tampak lunglai.  Sekilas terlihat iapun kecapaian karena semalam mungkin tak bisa tidur. Aku kasihan melihatnya seperti itu.

Angin dingin berhembus masuk melalui pintu dan kisi-kisi jendela. Bau daun-daun bambu kering tercium tajam. Aroma alam yang mengingatkanku ketika aku tinggal di rumah nenek sewaktu masih kecil. Desa dengan kebun-kebun yang rimbun gelap dan sawah-sawah yang penuh katak dan ikan. Semua tinggal kenangan karena desa sudah dipenuhi bangunan rumah mewah dan ikan-ikan lenyap dari genangan air sawah yang penuh pestisida dan racun.

“Boleh bertanya?” ujarnya tanpa melihatku.

“Boleh!” jawabku singkat.

“Yang lain kira-kira kapan dibayarnya?” Ia memandangi bayangan wajahnya sendiri yang remang-remang tergambar di kaca meja. Sejenak ia menengadah dan menoleh ke belakang karena anakku John masuk ke ruangan itu.

Aku segera berdiri, menemui anakku dan mengatakan apa yang sedang kami lakukan di sini. Setelah mengambil buku-buku yang akan dibawanya ke sekolah, John segera berlalu. “Sukses ya, pak!” katanya seraya tersenyum. Ia mengerlingkan sudut matanya. Nakal.

Piye, bu?” aku duduk kembali dan menatap istriku yang masih menunduk lemah. “Kok jadi malu begitu?”

“Tapi….’” Kepalanya diangkat sedikit. Sebentar melihatku lalu menunduk lagi dan berkata sangat pelan,“Pertanyaanku tadi belum dijawab!”

“Maaf…maaf, saya lupa!” aku memasang mimik serius. “Yang lain akan dibayar bulan depan setelah diverifikasi. Kelihatannya ada duplikasi. Takut kalau ibu keberatan menerima bayaran ganda.”

Istriku tersenyum. Ia kemudian merubah posisi duduknya. Kepalanya diangkat tetapi tetap tak mau beradu pandang denganku. 

“Sekarang terserah ibu!” aku mengeluarkan setumpuk uang ke atas meja. Matanya segera beralih ke situ. “Sudah ada keputusan?” Tanganku memilah kertas-kertas nota itu. Selembar nota buku kupisah dari nota-nota lainnya yang kutumpuk menjadi satu. “Ibu sekarang mau milih yang mana?”

Sejenak kemudian ia mengulurkan tangannya dan jarinya diarahkan ke selembar nota buku itu. Mukanya sengaja ia palingkan ke arah tembok. Ada senyum yang ia tahan. ”Yang ini saja!” katanya pendek.

Sambil memperhatikan lembaran kwitansi itu, tanganku menghitung uang yang akan kuberikan padanya. ”Sudah minum obat?" tanyaku singkat. Ia mengangguk. "Bagus. Tapi bener kan sudah minum obat?", ujarku lagi untuk meyakinkan bahwa ia benar-benar sudah menjalankan kewajibannya minum obat. Ia mengangguk lagi. "Ini bu. Coba dihitung dulu!” Tanganku menyodorkan sejumlah uang kepadanya. Wajahnya dipenuhi senyum. 

Belum selesai ia menghitung, aku menyodorkan lagi beberapa lembar uang. ”Yang ini adalah bonus untuk kerja sama ibu di pagi hari ini! Semuanya berjumlah satu juta rupiah!”

Ia terperangah, tak mengira bakal menerima tambahan uang itu. Matanya berbinar-binar. Ia tak lagi lunglai. Ia berteriak-teriak gembira dan tawanya tak henti-hentinya ditebar sepanjang tangga yang mengantarnya menuju kamarnya di ruang bawah.

Uang yang masih ada di atas meja kumasukkan ke sela-sela buku yang ada di rak buku. Aku meninggalkan tanda agar memudahkanku menemukan buku itu yang berderet diantara ratusan buku yang ada di perpustakaan rumahku. Hatiku tersenyum. Tuhan tahu apa yang kulakukan. Semoga tak ada yang salah. (bersambung)

2 comments:

alin said...

hari ini adalah hari baik.. jadi lakukan yang terbaik!
anak2 sungguh beruntung punya bapak setangguh Bapak.
Ibu waktu itu apa ga tidur, pak?

Iono Sandjojo said...

Tks Alin....
Waktu itu ibu tidak tidur semalaman. Entah itu hari ke berapa ia tak dapat memejamkan mata di malam, terutama dini hari.

Salam hangat